Mohon tunggu...
Firman Al Karimi
Firman Al Karimi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis pemula kelahiran Bangkinang - Riau. Sekarang tercatat sebagai warga Gianyar - Bali. Lulusan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi S1 Universitas Islam Riau. Mantan Teller di sebuah perusahaan pembiayaan, mantan koki magang di Grand Hyatt Hotel Bali dan di Nusa Dua Beach Hotel & Spa Bali. FB : Firman Al Karimi. Twitter : @ firman_alkarimi. Blog : http://firman-alkarimi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Romeo, Don't Cry : 11. Pertempuran Pertama

24 Februari 2013   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:46 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14179313251581168074

Pertempuran Pertama

HAMPIR tengah malam, Romeo sedang berkumpul bersama Roki, dan Joni―anak buah kepercayaan Roki―di ruang depan rumah Roki, membahas rencana transaksi yang akan dilakukan dini hari nanti di kawasan Kulim ketika pintu depan diketuk dengan terburu-buru. Joni bangkit dan membuka pintu.

Masih berdiri di depan pintu, seorang pemuda gondrong, bertubuh gempal, dan mengenakan jaket lusuh, langsung berbicara dengan ekspresi wajah tegang. “Ga…gawat, Bang Roki. Geng… geng Lanoon mengobrak-abrik daerah kekuasaan kita!”

Belum sempat Roki menyahut, pemuda gondrong itu berbicara lagi. “Pi…Pinto dan Ameng babak belur… dihajar mereka. Keduanya ditahan di parkiran Ramayana.”

Roki bangkit dengan wajah mengelam, rahangnya tampak mengeras menahan amarah. “Dari mana kau tau, Cok?!” geramnya begitu menghampiri si gondrong.

“A…ku, aku tadi bersama mereka, Bang. Tapi aku berhasil kabur dan langsung melapor ke sini,” sahut pemuda gondrong bernama Ucok itu takut-takut.

“Jadi kau tinggalkan saudara-saudaramu? Kau kabur lintang pukang kayak tikus kebakaran ekor!!!” bentak Roki sambil mencengkram krah jaket Ucok.

“A…ampun Bang. Kami melawan tapi kalah banyak. Kami hanya bertiga waktu sedang berjaga di tempat biasa. Mereka hampir empat puluh orang. Aku terpaksa kabur supaya bisa kasi tau Abang. Punggungku disabet golok, Bang,” jelas Ucok dengan wajah meringis menahan sakit.

Roki membalikkan badan si gondrong dan menemukan sayatan panjang bernoda merah darah di punggung jaketnya. Roki mengepalkan tangannya. “Kurang ajar, mereka berani menjajah daerahku!!!”

Romeo terlihat bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Maklum, walaupun ia berstatus sebagai wakil ketua geng, ia masih terhitung anak baru di geng itu, baru bergabung beberapa hari yang lalu. Ia malu juga bersikap seperti orang tolol di saat gengnya mendapat masalah gawat seperti yang dilaporkan Ucok, tapi ia memilih diam, lihat-lihat situasi dulu.

“Aku kumpulkan anak-anak, Bang!” kata Joni sambil mengacungkan HP.

Roki mendengus. “Cepat lakukan! Kita lumat habis geng Lanoon pengacau itu malam ini juga!”

Lalu Joni berulang-ulang menelepon, sibuk menyampaikan kabar penyerangan geng lawan, dan memerintahkan kepada para anggota geng senior yang berhasil dihubunginya agar meneruskan kabar secara berantai kepada anggota geng lainnya untuk berkumpul di markas secepatnya, menanti instruksi Roki.

Romeo masih diam, tegang, dan merasakan Ucok sedang memerhatikannya. Mungkin dia ingin melihat reaksiku, melihat tindakan apa yang akan kulakukan sebagai wakil ketua geng menghadapi masalah ini, pikirnya. Ia tak mau kehilangan wibawa, langsung menegakkan wajahnya, dan sepasang mata cokelatnya yang bersinar tajam menatap lurus ke mata Ucok, membuat pemuda gempal gondrong itu langsung mengalihkan pandangannya, enggan beradu mata.

Tidak perlu menunggu lama, kemudian puluhan anggota geng Vokand sudah memenuhi rumah Roki. Romeo melihat mereka mempersenjai diri dengan golok, rantai, bahkan ada juga yang membawa tongkat besi. Mereka benar-benar mau berperang, pikirnya risau. Ia sendiri juga kebagian tongkat besi sebagai senjata.

“Kita berangkat!!!” teriak Roki.

Lalu dengan menggunakan sepuluh sepeda motor dan dua mobil bak terbuka, tengah malam itu sekitar lima puluh orang anggota geng Vokand berangkat menuju pusat perbelanjaan Ramayana. Romeo duduk di samping Roki dengan ekspresi tegang di dalam salah satu mobil. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan pertempuran yang akan segera terjadi, pertempuran pertama baginya. Dalam pikirannya, pertempuran itu akan berlangsung seperti yang pernah dilihatnya dalam film-film yang berisi adegan perang antar geng, di mana kedua belah pihak akan bertemu dan berhadap-hadapan di pelataran parkir pusat perbelanjaan yang telah sepi dan bersuasana malam yang temaram. Lalu begitu ada instruksi dari pimpinan masing-masing, puluhan anggota geng dari kedua belah pihak akan saling memburu lawannya, kedua kelompok beradu dan saling serang dengan pukulan, bacokan atau sabetan. Gila, benar-benar gila, pikirnya tiada henti sampai ketika mobil yang membawanya dan anggota geng lainnya berhenti di depan Ramayana.

Romeo melompat dengan canggung dari mobil. Ia berjalan tergesa-gesa dengan langkah-langkah panjang seraya menggenggam tongkat besi sepanjang sekitar satu meter, mengikuti langkah cepat Roki yang menghunus golok. Di belakang mereka sepuluh anggota geng senior dan empat puluh anggota geng biasa mengekori dan bersiaga dengan senjata masing-masing, siap bertempur malam itu untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dari rongrongan geng pengacau.

Romeo semakin tegang ketika kedua kelompok geng itu sudah saling berhadap-hadapan di pelataran parkir. Sejenak suasana di tempat itu sunyi senyap karena kedua kelompok seperti sedang mengukur kekuatan masing-masing. Dan Romeo sedikit lega ketika melihat sendiri kekuatan geng lawan, ternyata benar apa yang dikatakan Ucok bahwa jumlah anggota geng lawan ada sekitar empat puluhan orang. Berarti kami unggul jumlah, pikirnya, merasa sedikit di atas angin.

Romeo mencoba mengusir ketegangannya dengan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, lalu menegakkan tubuhnya seraya bersiaga dengan tongkat besi di tangan. Aku wakil ketua geng, ia mencoba menaikkan rasa percaya dirinya. Sekarang, ini jalan hidup yang kupilih dan apapun resikonya harus kuhadapi, tak bisa tidak! Aku harus kuat! Lumayan berpengaruh, sebab hawa hangat mulai menjalari tubuhnya, dan kekuatan itu mulai tumbuh. Walaupun di hati kecilnya yang paling murni, ia sadar, itu adalah kekuatan yang berasal dari hasutan jahat si makluk jahanam, syetan laknatullah!

Ia menggeram, menggenggam erat tongkat besinya. “Aku siap bertempur,” gumamnya tanpa sadar.

Roki yang berdiri di sampingnya menoleh. “Bagus. Tapi hati-hati Rom, ini pasti pertempuran pertama buatmu. Kau jangan jauh-jauh dariku. Beberapa anggota geng akan melindungimu.”

Romeo mengernyit tak senang. “Aku bisa jaga diri, Bang. Aku wakil ketua geng!” katanya mengingatkan. Ia panas juga dengan sikap over protective Roki terhadap dirinya, seakan-akan Roki menganggapnya hanya sebagai anak bawang yang cuma bisa jadi beban yang harus dilindungi dalam pertempuran itu.

Roki hanya mengangguk. Ia sama sekali tidak meremehkan kemampuan Romeo. Namun Roki memang benar-benar murni mengkhawirkan keselamatan Romeo, keselamatan seseorang yang secara tulus diakuinya sebagai adik angkat!

“Guntur!!! Berani-beraninya kau mengacak-ngacak daerahku!!!” teriak Roki setelah puas mengukur kekuatan lawan.

Sekitar dua puluh meter di depan mereka, seorang pria kekar berumur sekitar tiga puluh lima tahun―mengenakan baju kaos ketat hitam, juga menghunus golok―malah tergelak dengan nada mengejek. “Roki, Roki… sudah pandai berlagak kau sekarang. Apa kau tidak ingat, dulu, di dalam penjara aku pernah membuatmu merangkak-rangkak sehabis kugebuki!”

Roki menggeram. “Itu dua belas tahun lalu. Aku masih anak kecil waktu itu dan kau hanya berani menggebuki anak kecil! Sekarang situasinya lain, aku bukan Roki yang bisa seenaknya kaugebuki. Sekarang aku yang akan menghajarmu dan membuatmu merangkak di kakiku!!!

Guntur malah tertawa garang, diikuti puluhan anak buahnya, sehingga tempat itu dipenuhi gemuruh tawa yang menyeramkan. Mereka sedang menebarkan aroma ancaman kepada geng Vokand.

“Masih berlagak juga, kau maling ubi!” Guntur mengejek lagi, lalu kembali ia dan anak buahnya tergelak-gelak.

Roki geram sekali ketika Guntur mengungkit-ngungkit penyebab ia masuk penjara. Memang, ia pernah dipenjara karena terpaksa mencuri ubi tetangganya ketika ia kelaparan setelah kedua orang tuanya tiada.

“Jangan kausangka karena jumlah anak buahmu lebih banyak makanya kau merasa unggul dan berani jual lagak di sini,” lanjut Guntur. “Anak buahmu itu hanyalah gerombolan anak-anak ayam sayur yang mudah ditumpas. Seperti dua orang anak buah kerocomu yang tadi sudah digulai oleh anak buahku!”

Joni dan sepuluh anggota senior geng Vokand serta empat puluh anggota geng lainnya menggeram marah karena diremehkan sedemikian rupa oleh Guntur― pimpinan geng Lanoon. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karenabelum ada instruksi dari Roki.

Sedangkan Roki dalam amarahnya yang semakin membuncah mencoba mengusai luapan emosinya yang hendak meletup, bersikap lebih tenang. “Guntur, cukuplah kau menjual air ludah!” katanya dengan nada bergetar karena menahan marah. “Sekarang mana kedua anak buahku yang kau tahan!”

Guntur melengak, memasang wajah jelek dan tertawa merendahkan lagi. “Anak buah ayam sayurmu itu ada belakang sana, sedang merintih-rintih menahan sakit dan sedang sesak nafas karena dikentuti oleh anak buahku. Hahaha!”

“Bang, kita lumat aja mulut kotornya,” bisik Joni memberanikan diri. Ia tidak tahan lagi melihat gengnya direndahkan terus.

Roki mengangkat tangannya, menenangkan anak buahnya yang sudah habis kesabaran. “Guntur, hentikan ocehan busukmu! Sekarang pertarungan macam apa yang kau mau? Pertempuran terbuka… atau pertarungan satu lawan satu antara kita berdua saja? Tak usah libatkan anak buah!”

“Nah, benar apa yang kubilang tadi! Kau takut, kan? Kau takut kalau anak-anak ingusan yang jadi anak buahmu itu digilas habis oleh anak-anak buahku!” Guntur mengejek lagi.

Roki menyeringai geli. “Atau mungkin kau yang takut bertarung satu lawan satu denganku, dan kau memilih berlindung di belakang pantat bau anakbuahmu itu. Hahaha!” ia membalikkan ejekan Guntur.

Puluhan anggota geng Vokand tertawa seru, heboh, sambil ditingkahi dengan gerakan-gerakan penuh ejekan, melampiaskan gemuruh amarah di dada mereka yang terkekang sejak tadi.

Kontan wajah Guntur mengelam, menahan marah yang luar biasa. Rupanya dia termasuk orang yang suka mengejek tapi dia tidak bisa menerima ketika giliran dia yang diejek!

“Kali ini kau takkan kuampuni seperti dulu. Sekarang akan kupatah-patahkan tulang-tulangmu dan kupotong-potong badanmu!” geram Guntur sambil mengacungkan tinju kirinya dan menyabet-nyabetkan golok besar di tangan kanannya.

Roki memang sengaja menantang Guntur bertarung satu lawan satu karena sebenarnya ia tidak ingin melibatkan anak buahnya dalam pertempuran itu. Ia memang preman besar, tapi ia sudah terlalu kenyang dan jenuh merasakan pertumpahan darah massal. Pengalaman telah mengingatkannya bahwa ia mencapai posisinya yang sekarang dengan melewati berbagai pertarungan yang berdarah-darah. Tidak sedikit anggota gengnya dan anggota geng lawan yang terluka bahkan ada yang putus nyawa dalam usahanya memperluas dan mempertahankan daerah kekuasaan. Sekarang ia merasa sudah di puncak, kedudukannya sudah cukup aman karena para pedagang dan pemilik toko di kawasan yang dikuasai dan dilindunginya dengan suka rela membayar iuran keamanan tanpa paksaan, sebab geng Vokand memang mampu memberikan rasa aman kepada mereka. Malam ini ia tidak ingin lagi melakukan perang terbuka dengan geng pimpinan Guntur untuk menghindari jatuhnya korban yang banyak dari kedua belah pihak. Ia terlalu muak melihat puluhan orang-orang yang merintih sambil mendekap luka yang bercucuran darah.

“Kau takut melawanku, Guntur?” tantang Roki lagi. “Dengan senjata atau tangan kosong?”

“Arrrrrrrrrrghh!!!!” Guntur berteriak. Ia tidak tahan lagi mendengar tantangan Roki. Ia melompat maju ke depan diikuti puluhan anak buahnya yang siap menyerang.

Tapi lagi-lagi Roki yang merasa sudah bisa menguasai emosi lawan tergelak sinis. “Ternyata kau memang penakut, Guntur. Beraninya cuma mengandalkan anak-anak cacing yang mengekor di belakang pantatmu itu!”

Guntur menoleh tajam ke belakang, menggeram marah kepada puluhan anak buahnya. “Mundur semua, kalian jangan ikut campur! Biar kuhabisi maling ubi itu dengan tanganku sendiri!”

Roki menghela nafas dalam-dalam. Baguslah, orang yang bertarung dalam kemarahan yang menguasainya maka dia sudah kehilangan separuh kekuatannya.

Guntur maju sepuluh langkah ke depan, menghunus golok dengan geram.

Roki pun melangkah, juga bersiap dengan golok melintang di depan dadanya. Tapi langkah Roki terhenti di langkah kedua.

“Bang Roki, biar aku yang menghadapi tukang jual air ludah itu!” kata Romeo begitu keras. Sejak tadi dalam pikirannya terus saja berkecamuk bagaimana caranya ia membuktikan bahwa ia pantas berdiri dan berada di tengah pertempuran itu sebagai seorang wakil ketua geng. Dan ketika Roki memancing Guntur untuk melakukan pertarungan satu lawan satu, ia sudah menangkap peluang bahwa itu adalah kesempatannya untuk memberi bukti kepada semua anggota geng Vokand kalau ia pantas menyandang beban sebagai wakil ketua geng. Tanpa bermaksud melangkahi Roki, ia memutuskan akan mewakili geng Vokand untuk menghadapi ketua geng Lanoon dalam pertarungan satu lawan satu!

Roki terkesiap. Dari tadi ia mengkhawatirkan keselamatan Romeo, dan sekarang adik angkatnya itu malah menawarkan diri mengambil alih tanggung jawabnya untuk mempertahankan kehormatan geng yang dipimpinnya.

Seluruh anggota geng Vokand malah lebih terkejut, tidak menyangka Romeo yang sedari tadi tidak bersuara dan belum genap seminggu bergabung dengan geng mereka, tiba-tiba malah memberanikan diri mempertaruhkan nyawanya melawan pimpinan geng lawan yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan keras ala geng jalanan. Bisa apa anak ini? pikir beberapa anggota geng senior gusar. Cari mati!!!

Romeo maju dua langkah. “Bang, beri aku kesempatan untuk membuktikan diri kalau aku memang pantas jadi wakil Abang.”

“Rom, tidak ada yang perlu kaubuktikan. Ini bukan main-main. Ini pertarungan hidup mati!” Roki mengingatkan, ia semakin cemas melihat nyala semangat bertarung yang memancar di mata Romeo.

“Jangan anggap aku anak bawang, Bang!” hanya itu perkataan yang keluar dari mulut Romeo ketika memegang bahu Roki, dan terus melangkah ke depan.

Roki tidak bisa berbuat apa-apa melihat aksi nekat Romeo. Hampir saja ia menghambur dan menarik Romeo kembali ke belakang, namun ia menekan rasa cemasnya dan mencoba berharap semoga Guntur akan menolak melayani tantangan Romeo.

Guntur juga terkejut melihat seorang anak muda jangkung atletis bersenjatakan tongkat besi di tangan namun sama sekali tidak berpotongan seperti anggota geng melangkah mantap mendekatinya.

“Hei, anak ingusan, kau mau cari mati?!” sentak Guntur. “Pulanglah ke rumah, cuci kaki dan bergelung di ketiak emakmu!”

Roki lega, harapannya bahwa Guntur akan menolak melawan Romeo terkabul. Tapi keterkejutan kembali menyengatnya ketika mendengar gelak ringan Romeo menanggapi ejekan Guntur itu.

“Tak apalah kauanggap aku anak ingusan!” sahut Romeo sambil mengetuk-ngetukkan tongkat besinya ke lantai pelataran parkir, memperdengarkan bunyi bernada ancaman. “Malam ini, tempat ini akan menjadi saksi kalau seorang Guntur―si jagoan tukang jual air ludah―bakal dipecundangi oleh anak ingusan.”

“Arrrrggghhh!!!” kemarahan Guntur meninggi lagi. “Rokiiii… akan kucincang anak sok jual lagak ini!”

Roki tersentak, spontan ia melompat ke depan dan dengan gerakan protektif melintangkan golok di depan dada, melindungi Romeo.

Romeo langsung bereaksi tidak senang. “Bang, jangan permalukan aku di depan para anggota kita,” bisiknya. “Kembalilah ke belakang.”

“Jangan kuatir, Bang. Aku akan berjuang sekuat tenaga dan memberi kemenangan untuk geng kita,” lanjut Romeo penuh semangat tanpa memberikan kesempatan pada Roki untuk menyahut.

Roki tidak bisa menahan Romeo lagi. Ia pasrah dan bersiap menyalahkan dirinya seumur hidup jika Romeo celaka dalam pertarungan yang akan segera terjadi. “Hati-hati, Rom. Dia itu preman brutal. Pancing terus emosinya, itu akan membuat fokus bertarungnya lengah,” bisik Roki sebelum mundur ke belakang.

“Sudah puas main bisik-bisikan? Kayak perempuan saja kalian. Hahaha!” ejek Guntur.

“Oh, sudah Bung. Tadi Bang Roki hanya membisikkan supaya aku jangan sampai memecahkan mulut besarmu itu, nanti kau tak bisa jualan air ludah lagi!” sahut Romeo memanasi lawan.

Guntur tidak tahan lagi, ia langsung melompat dan mengejar ke arah Romeo seraya menyabetkan golok besarnya.

Belum tentu aku mati di tempat ini. Hidup mati itu Allah yang menentukan. Romeo menggeram sambil memapas sabetan golok Guntur dengan kibasan tongkat besinya. “Trang!!!” terdengar suara berdenting keras dan terlihat percikan bunga api halus di tengah keremangan malam ketika kedua senjata berbahan besi itu beradu.

Kuat juga orang ini, pikir Romeo ketika tangannya yang memegang tongkat besi terasa kesemutan. Tapi kemudian dengan cepat ia sibuk menangkis bacokan dan sabetan ganas Guntur yang memang bernafsu cepat-cepat ingin menghabisinya.

Di pinggir arena, Roki dan anak buahnya berkali-kali menahan nafas antara cemas dan lega melihat aksi Romeo yang lincah berkelebat mengolah tubuhnya untuk mengelak dan memapas serangan Guntur, bahkan pemuda itu juga mampu melancarkan serangan yang tak kalah berbahaya dan merepotkan pimpinan geng Lanoon itu.

Keduanya terus terlibat pertarungan hebat, saling beradu kemampuan dan kelihaian memainkan senjata. Romeo tahu kalau Guntur bertenaga besar karena itu sedapat mungkin ia menghindari mengadu senjatanya dengan senjata lawan. Romeo mengandalkan kegesitan tubuhnya dalam menghindari sabetan dan bacokan golok Guntur sambil balik menyerang lawan dengan pukulan dan sodokan tongkat besinya.

Tanpa sadar keduanya telah bermandikan keringat akibat saling melakukan jual beli serangan yang sangat gencar dalam waktu yang cukup lama, dan kelelahan memaksa keduanya seakan sepakat menahan serangan, keduanya hanya berputar-putar di tengah arena sambil mencari celah kelemahan lawan.

“Permainan golokmu yang kayak pemain sirkus keliling boleh juga, Bung Guntur,” sentil Romeo, mencoba terus membakar emosi lawan. “Boleh juga untuk menakuti anak ingusan!”

Walaupun masih lelah, Guntur tidak tahan juga mendengar sentilan Romeo, lalu serangan goloknya menderu lagi, mengurung dan mendesak Romeo. Bahkan jika dibandingkan dengan sebelumnya kali ini sabetan dan bacokan pria ini semakin gencar dan ganas menyerang Romeo.

Romeo merasa kena batunya setelah memancing emosi lawan. Sesaat ia terpontang-panting menangkis dan menghindari serangan brutal Guntur, berkali-kali tangannya kesemutan ketika senjatanya menangkis tebasan senjata lawan.

Di pinggir arena, Roki memperhatikan dengan cemas. Tanpa sadar ia menggerak-gerakkan goloknya.

Joni malah berpikiran lebih ekstrim. “Bang Roki, Bang Romeo terdesak. Jangan tunggu sampai dia celaka. Cepat kita gilas aja geng setan itu. Anggota kita lebih banyak, Bang!” katanya pada Roki.

Roki mengangguk. Ia memang tidak punya pilihan lagi, ia terlalu kuatir melihat keadaan Romeo yang terdesak hebat, dan hampir saja mulutnya meneriakkan perintah kepada seluruh anak buah untuk menyerang gerombolan geng Lanoon namun niatnya terhenti ketika ia hampir tidak memercayai matanya melihat Guntur terhempas sambil berteriak kesakitan―karena di suatu kesempatan dalam keadaan tubuh setengah berlutut ketika menangkis bacokan golok Guntur dengan tongkat besinya, dari jarak dekat satu tendangan lurus Romeo menghantam rusuk Guntur yang terbuka lebar tanpa perlindungan karena kedua tangan pria itu sedang terangkat memegang golok yang ditahan tongkat besi Romeo. Guntur langsung terhempas ke belakang dengan punggung menghantam kerasnya lantai pelataran parkir.

Roki bernafas lega dan mulai memercayai kemampuan bertarung Romeo.

Puluhan anggota geng Vokand bersorak-sorai.

“Habisi dia, Bang, cepat!!!” teriak Joni geram. “Jangan biarkan dia bangkit!!!”

Romeo diam saja. Aku bukan jenis orang pengecut yang menghantam lawan yang belum siap bertarung, batinnya seraya terus mengitari lawan yang sedang berusaha berdiri sambil mengeluarkan umpatan kotor.

Puluhan anak buah Guntur tak kalah terkejut, bersiap menyerang, terjun ke kalangan pertempuran massal.

Joni dan puluhan rekannya tak kalah bersiap melihat gerakan reaktif geng lawan. Mereka memang sudah tidak sabar ingin segera menghancur geng Lanoon yang telah mencoba mengobrak-abrik daerah kekuasaan mereka.

Tapi gerakan kedua kelompok itu terhenti.

“Kalian jangan ikut campur, aku belum kalah!” seru Guntur ketika sudah berhasil berdiri sempurna walaupun seringaian menahan sakit masih membayang di wajah sangarnya. “Kau jangan bangga dulu anak ingusan. Tadi aku cuma lengah!”

“Lengah dan sengaja membiarkan tulang rusukmu dihantam kakiku?!” sahut Romeo menampakkan senyum geli. Dirinya dikuasai percaya diri, dan entah kenapa sekarang ia justru seperti menikmati pertarungan itu.

“Mampus kau sekaraaaaang…!!!” Guntur menyerang Romeo dengan sabetan dan bacokan kalap. Emosi negatif mutlak menguasai pria itu, membuatnya kehilangan kendali diri, dan hal itu bisa merugikan dirinya sendiri, sebab Romeo yang rasa percaya dirinya sudah meninggi dengan mudah bisa membaca dan menghindari serangan Guntur yang sudah tidak tertata itu―serangan yang terkesan sembarangan karena dikacaukan nafsu amarah.

Akibatnya―di suatu kesempatan―ketika Guntur melakukan gerakan membacokkan goloknya, Romeo mampu memindahkan tubuhnya, berkelit sambil mengibaskan tongkat besinya, mengincar tangan lawan.Guntur yang gelap mata tidak mampu menghindar dan kembali menjerit kesakitan ketika ujung tongkat besi Romeo menghantam pergelangan tangannya dan membuat golok terlepas dari genggamannya. Kali ini Romeo berniat segera menuntaskan perlawanan lawan karena belum sempat Guntur melakukan apa-apa, satu pukulan tongkat besi Romeo menderu ke arah kepalanya, spontan Guntur merunduk. Namun ia tertipu, pukulan itu hanya upaya Romeo untuk mengecoh dirinya, sebab serangan sebenarnya adalah ketika sepersekian detik kemudian satu tendangan putar Romeo bersarang telak di dadanya, dan kembali menghempaskan pria itu ke lantai pelataran parkir.

“Yeah, yeah, yeah!!!” Roki, Joni dan anggota geng Vokand menggeram-geram gembira melihat aksi memukau Romeo menghajar Guntur.

Sebaliknya puluhan anggota geng lawan menahan nafas cemas. Mental mereka mulai tertekan melihat keadaan pemimpinnya yang sudah dua kali dirobohkan Romeo. Apalagi sekarang terlihat jelas bahwa Guntur kesulitan untuk bangkit, berkali-kali pria itu jatuh terguling lagi ketika mencoba berdiri. Guntur merasakan dadanya panas seperti terbakar dan menyesak hebat, membuatnya sulit bernafas. Ditambah lagi kepalanya yang pusing akibat menghantam lantai pelataran parkir ketika terhempas tadi.

“Apa kau masih betah tiduran di situ, Bung Guntur?” kata Romeo, masih tetap waspada sambil memutar-mutar tongkat besi di tangannya.

Guntur mana bisa menyahut. Ia terus saja menelentang dengan nafas turun naik tak beraturan, seakan pasrah pada nasib buruknya malam itu. Tak tampak lagi kegarangan di wajahnya, digantikan oleh ekspresi tersiksa menahan sakit.

“Serbuuu….!!!” Tiba-tiba terdengar gemuruh teriakan geng Lanoon. Puluhan orang bersenjata golok, tongkat besi, dan rantai itu menghambur ke tengah arena. Rupanya mereka sepakat memilih bertindak nekat, karena menurut pikiran pendek mereka, lebih baik mereka menghabisi daripada dihabisi duluan oleh pasukan geng Vokand yang sudah merasa menang itu.

Melihat lawan menghambur menyerang, Joni takbisa menahan diri lagi. “Libas merekaaa…!!!” serunya sambil mengacungkan senjatanya, lalu berlari menyongsong lawan, diikuti puluhan anggotanya.

Roki terpana sejenak, tidak menyangka anggota geng lawan akan bertindak nekat memilih terjun ke kalangan perang terbuka dan ia pun tidak bisa mencegah anak buahnya yang sudah terlanjur berhamburan untuk menyambut serbuan lawan tanpa menunggu perintahnya.

Romeo yang berdiri di garis terdepan pun terkesiap ketika tiba-tiba saja empat orang anggota geng Lanoon berwajah garang sudah mengepungnya dengan senjata terhunus. Tapi Romeo lebih terkejut lagi ketika melihat dengan cepat puluhan anggota geng Vokand yang datang seperti gelombang ganas menyapu ke empat orang sial itu, dan seterusnya menggulung puluhan anggota geng Lanoon lainnya.

“Abang mundur ke belakang. Jangan kotori tangan Abang dengan darah busuk keroco-keroco ini. Biar kami yang membereskannya!” teriak Jonipada Romeo di sela-sela kesibukannya menghantam lawan dengan tongkat besinya.

Tapi Romeo malah terpukau di tempatnya, seolah hanyut oleh suara hiruk pikuk dentingan senjata bercampur dengan jeritan kesakitan, dan menyaksikan keganasan geng Vokand menyapu habis geng Lanoon yang bertarung kalap dan kacau karena tanpa pemimpin. Gila, ini memang gila!!! Teriak batinnya tiada henti.

Akhirnya puluhan anggota geng Vokand meneriakkan sorakan kemenangan, memperlihatkan arogansi kejayaan. Pertempuran singkat itu berhenti, menyisakan puluhan orang terkapar berdarah-darah dan merintih-rintih kesakitan di pelataran parkir.

“Jangan coba-coba mengacau daerahku lagi!” kata Roki ketika mendekati Guntur yang masih terlentang dengan tubuh babak belur dan penuh luka. “Sekarang, kuampuni kau. Tapi kalau lain kali kau mengacau lagi, tak ada ampun lagi. Kau akan kuhabisi!!!”

“Kau dengar tidak?!” sentak Joni geram, kakinya bergerak hendak menendang tubuh Guntur, tapi ditahan Roki dengan delikan mata tajam.

Kemudian Guntur hanya mengangguk pelan sambil melenguh tak jelas.

“Kita pergi!!!” teriak Roki pendek kepada anak buahnya. “Ayo Rom,” lanjutnya sambil menarik bahu Romeo.

Lalu puluhan anak buahnya―belasan diantaranya ada yang terluka namun tidak begitu parah, termasuk dua anggota geng Vokand yang babak belur dan sebelumnya ditahan geng Lanoon―bergerak menuju kendaraan mereka dan meninggalkan pelataran parkir yang baru saja menjadi lahan pertempuran itu.[]

Bersambung ke Bagian 12

*MEMBACA NOVEL HANYA SELINGAN, MEMBACA AL-QUR'AN LEBIH UTAMA*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun