Implementasi pelestarian budaya pada era ini sangat jarang dilakukan oleh anak, khususnya pada anak-anak usia sekolah dasar. Dalam rentang usia 7-12 tahun, biasanya anak-anak sedang berada dalam fase gemar bermain bersama teman sebaya dan banyak melakukan aktivitas di luar ruangan. Namun, adanya pergeseran zaman yang turut disertai dengan perkembangan teknologi menyebabkan siswa sekolah dasar lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain gawai. Menurut Susanto sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan bahwa "Anak kecanduan gawai menjadi tantangan serius. Hanya saja, tidak semua orangtua mengetahui bahwa anaknya terindikasi kecanduan gawai,". Oleh karena itu, tantangan tersebut dapat berpengaruh terhadap berbagai hal, salah satu diantaranya adalah pada pelestarian budaya.
Sebagai salah satu negara yang dikenal kaya akan budayanya, Indonesia tentunya tidak bisa begitu saja melepaskan budaya yang telah mengakar sejak lama. Pentingnya pelestarian budaya sebagai identitas dan warisan suatu bangsa harus dijaga dan dilestarikan secara terus-menerus. Berkaitan dengan hal tersebut, pelestarian budaya juga termasuk salah satu tujuan dari SDGs Desa yakni pada kawasan pemukiman desa berkelanjutan dalam program desa kawasan pemukiman aman dan nyaman. SDGs (Suistanable Development Goals) Desa sendiri merupakan upaya terpadu dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Melalui SDGs Desa, pelestarian budaya memiliki pengaruh dalam membangun karakter masyarakat yang kreatif dan membudaya. Upaya pelestarian budaya dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya itu sendiri, khususnya kebudayaan tradisional karena merupakan ciri khas daerah. Adapun komponen-komponen kemasyarakatan juga dapat terbangun melalui pelestarian budaya, salah satunya melalui gotong royong. Kegiatan gotong royong tersebut dapat dikemas secara lebih menarik dalam skema permainan seperti pada permainan tradisional.
Berdasarkan survei terhadap siswa SDN 2 Wangun yang berlokasi di Desa Wangunsari, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, didapatkan hasil bahwa siswa belum mendapatkan materi pupuh dan hampir tidak pernah melaksanakan permainan tradisional Sunda. Melihat kondisi tersebut, program pelestarian budaya dirancang dalam upaya pengenalan dan implementasi materi pupuh yang meliputi pupuh kinanti, pupuh balakbak, dan pupuh maskumambang. Adapun program permainan tradisional sunda juga turut digalakkan, diantaranya oray-orayan, perepet jengkol, cingciripit, punten mangga, serta beberapa lagu tradisional sunda seperti Manuk Dadali, Tokecang, dan Gumbira. Kegiatan tersebut dimulai dengan pengenalan pupuh dan permainan tradisional sunda, kemudian dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama antara siswa SDN 2 Wangun dengan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Tematik UPI Kelompok Kecil 81. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam melestarikan budaya Sunda pada siswa sekolah dasar.
Dalam upaya pelestarian budaya di lingkungan sekolah dasar ini, para siswa memberikan respon yang antusias. Pada pertemuan di minggu pertama siswa diberikan materi pelestarian budaya berupa permainan tradisional oray-orayan dan pupuh kinanti. Siswa juga diajarkan mengenai cara bermainnya. Di minggu kedua siswa diberikan materi pelestarian budaya berupa permainan tradisional perepet jengkol, cingciripit dan materi pupuh balakbak, lagu Manuk Dadali, Tokecang dan Kawih Gumbira. Selanjutnya pada pertemuan di minggu ketiga siswa diberikan materi permainan tradisional punten mangga dan materi pupuh maskumambang.
Pupuh merupakan bentuk puisi tradisional dari Sunda yang memiliki jumlah suku kata atau guru wilangan, dan rima atau guru lagu tertentu di setiap barisnya. Tujuan dari dikenalkannya pupuh kepada siswa SDN 2 Wangun yakni agar para siswa mengetahui beragam jenis pupuh yang merupakan bagian dari seni tradisional Sunda. Selain itu, agar siswa dapat menyanyikan pupuh-pupuh tersebut dan menghapalkannya sebagai wujud dari pelestarian budaya Sunda di kalangan anak-anak. Perlu diketahui bahwa terdapat tujuh belas jenis pupuh dalam sastra Sunda yang masing-masing memiliki sifat tersendiri dan digunakan untuk tema yang berbeda. Tujuh belas jenis pupuh tersebut diantaranya adalah:
- Asmarandana - bertema cinta kasih seseorang kepada kekasih, sahabat, maupun keluarga.
- Balakbak - bertema lawak, banyolan tentang kehidupan sehari-hari.
- Dangdanggula - bertema ketenteraman, keagungan, kegembiraan.
- Durma - bertema kemarahan, kesombongan, semangat.
- Gambuh - bertema kesedihan, kesusahan, kesakitan.
- Gurisa - bertemakhayalan seseorang.
- Jurudemung - bertema kebingungan, masalah kehidupan.
- Kinanti - bertema penantian seseorang.
- Ladrang - bertema sindiran.
- Lambang - bertema lawak dengan aspek renungan.
- Magatru - bertema penyesalan.
- Maskumambang - bertema kesedihan yang mendalam, berempati, dan rasa prihatin.
- Mijil - bertemakesedihan yang menimbulkan harapan.
- Pangkur - bertema perasaan sebelum mengemban sebuah tugas berat.
- Pucung - bertema rasa marah pada diri sendiri.
- Sinom - bertema kegembiraan.
- Wirangrong - bertema rasa malu akan tingkah laku sendiri.
Pada program pelestarian budaya berupa pengenalan pupuh di SDN 2 Wangun, pupuh Kinanti, pupuh Maskumambang dan pupuh Balakbak dipilih untuk diperkenalkan terlebih dahulu. Pupuh Kinanti “Budak Leutik Bisa Ngapung”, pupuh Maskumambang “Itu Kusir”, dan pupuh Balakbak “Aya Warung Sisi Jalan” dipilih dengan tujuan untuk membangkitkan semangat para siswa yang dapat dilihat dari rasa antusias siswa dalam menyanyikannya secara gembira. Selain itu pengenalan pupuh ini juga bertujuan untuk membuat para siswa mengetahui arti pupuh itu sendiri.
Adapun pada program pelestarian budaya berupa pengenalan permainan tradisional berupa kaulinan barudak di SDN 2 Wangun, oray-orayan, perepet jengkol, cingciripit, dan punten mangga dipilih untuk diperkenalkan terlebih dahulu kepada siswa karena keempat permainan tradisional tersebut dapat dilaksanakan secara berkelompok sehingga para siswa dapat bermain bersama-sama dengan tujuan agar rasa solidaritas dan rasa kebersamaan antara para siswa dapat terbangun, sehingga siswa dapat berinteraksi sosial dengan teman atau rekan sebayanya. Manfaat lain dari permainan tradisional diantaranya untuk merangsang motorik anak dan mengotipmalkan kecakapan anak dalam berbagai bidang, serta menumbuhkembangkan nilai-nilai pendidikan karakter.