Sejak republik ini berdiri, para pendiri bangsa ini telah berusaha menanamkan jiwa kesatuan dalam kemajemukan yang lama dihancurkan oleh kolonial Belanda dengan politik adu domba, atau yang lebih kita kenal dengan politik devide et impera. Untuk itu para pendiri bangsa menggagas semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebagai jiwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang bercorak kemajemukan dan multikultural. Bhineka Tunggal Ika dipahami sebagai satu kesatuan manusia, bukan sebagai satu kesatuan wilayah. Sehingga inti sentral dari NKRI adalah tiap manusia dengan kemajemukannya atau masyarakat pluralis di negeri ini.
Adanya kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri menunjukkan bahwa sebenarnya NKRI dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai ke Rote, dihuni oleh warga yang rawan terpecah belah. Belum lagi kerawanan akibat konflik SARA bagai virus yang setiap saat bisa kambuh dan mengancam integrasi bangsa.
Setiap orang di negeri ini selalu akan berusaha untuk bersatu sebagai saudara sebangsa dan setanah air, membanggakan semangat nasionalisme yang menghargai pemimpinnya, apabila haknya sebagai manusia yang hidup di nusantara ini diperhatikan dan dipenuhi serta mendapat perlakuan yang adil. Hal ini sangat relevan jika dihadapkan pada kenyataan bahwa akar berbagai krisis dan konflik serta adanya separatisme dan terorisme di Indonesia terjadi karena ketidakadilan.
Munculnya kaum separatis dan teroris adalah bentuk kekecewaan terhadap ketidakadilan dan kebijakan yang tidak dapat diterima sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga kapan pun separatisme dan terorisme akan tetap ada. Oleh sebab itu, separatisme dan terorisme harus ditumpas habis, hanya saja metodanya kini harus dirubah, tidak lagi dengan kekerasan bersenjata. Tetapi untuk menyadarkan mereka diperlukan pendekatan secara kekeluargaan dan melalui pendekatan sosial budaya atau yang lebih sederhana adalah berkomunikasi. Menumpas separatisme dan terorisme dengan keadilan dan kesejahteraan mungkin merupakan resep yang lebih manusiawi dari pada menumpas dengan senjata. Dan nampaknya TNI saat ini tengah melakukan upaya-upaya tersebut yang lebih kita kenal dengan pendekatan persuasif.
Dilihat dari sudut pandang sejarah, sebenarnya perilaku terorisme sudah terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Misalnya saja kejadian pada bulan Oktober di Jakarta, pasukan NICA telah berhasil menguasai daerah Kebayoran, selain itu juga melakukan aksi militer sehingga memaksa Jakarta kehilangan status Ibu Kotanya. Dengan adanya aksi ini, muncul ketidakpuasan dari masyarakat sekitar pinggiran Jakarta. Dari peristiwa tersebut sehingga muncul gejolak dari masyarakat bukan terhadap kekuatan asing tersebut namun kepada segala sesuatunya yang dianggap sebagai “antek-antek” sehingga muncul berbagai tindak kriminalitas dari pembunuhan, perampokan atau bahkan aksi terorisme di kalangan pribumi.
Peristiwa tersebut memiliki kesimpulan bahwa penyebab kemunculan terorisme dikarenakan ada desakan pihak luar yakni pasukan NICA yang disebabkan lemahnya sistem pemerintahan serta legitimasi yang kurang. Sehingga dalam situasi kekacauan akan muncul persepsi-persepsi masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang menjadikan terjadinya aksi saling serang bahkan teror antar masyarakat pribumi sendiri. Persepsi tersebut muncul masyarakat tidak tahu mana pihak yang benar dan yang salah.
Tapi dalam kenyataannya pemerintah gagal mempertahankan kebhinekaan Negara ini. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya tindakan sparatisme dan terorisme yang ada di negeri kita ini. Dampak yang paling keras akan terasa pada ekonomi Indonesia adalah terpukulnya industry pariwisata, yang merupakan sumber pendapatan utama yang masih tersisa bagi Indonesia, rusaknya iklim dan daya tarik bagi investasi baru, masa depan ekonomi yang kelam, yang dapat menjadi pemicu bagi krisis politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H