Satu windu-dan tahun-tahun yang mengerikan
masih dengan yang itu-itu saja,
tidakkah bosan?
barangkali suka-suka saja dengan yang sama-selama,
tahun-tahun sebelum delapan, apa
perlu dirayakan dengan kejutan? apa
kembang api yang bersahut-sahutan? apa
bahumu masih saja kuat menopang, sakit-sakitan itu, sendirian? apa
perlu aku temani dengan keragaman kita soal,
tulis dan lukis?
tentang biru-biru ombak dan ragam problema yang (kau bilang) makin semerbak,
soal itu, apa
sangat perlu kita bahas, duduk-duduk di atas, dengan sebelah mata menerka,
apakah sesungguhnya, kita pantas?
Tentang tahun-tahun sebelumnya,
Tuhan merencanakan pertemuan di pemakaman ;
selalu menjadi tempat pembicaraan,
penglihatan antara suka-duka dan bimbang antara keduanya.
Pemakaman tidak lagi semenyedihkan itu, sebab
aku dan bahumu selalu dipertemukan di pemakaman - atau jalan menujunya - dan pulang setelahnya.
Soal pemakaman dan gelap-gulita setelah itu,
aku tidak tahu bab berapa Tuhan kemudian menuliskan pertemuan selain di tempat itu,
untuk kita cicipi anggur di meja -untuk kita makan- tentu tidak di pemakaman.
Tidakkah kini pemakaman adalah tempat romantis yang Tuhan jadikannya itu kemudian?
Tidakkah -barangkali aku dan bahumu menunggu-nunggu waktu untuk datang ke pemakaman,
dengan warna hitam seragam,
tapi kini sungguh menyenangkan,
barangkali jika Tuhan berkenan,
mana bolehkah sesekali kita memakai baju hitam untuk ke acara perayaan?
-firliana,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H