Saat ini kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar menjadi makanan sehari-hari warga kota. Saya yang tinggal di Kota Bandung pun merasakan hal yang serupa. Hampir setiap hari, sejak pagi hari hingga sore hari, ruas-ruas jalan tertentu di Kota Bandung sering disergap kemacetan lalu lintas.
Bila diartikan sederhana, kemacetan lalu lintas bisa berarti lambatnya arus pergerakan kendaraan saat melaju di jalan, mungkin antara 10-20 km per jam.
Dan bisa juga diartikan, berhentinya arus pergerakan kendaraan dalam waktu tertentu di ruas jalan tertentu. Kalau istilah para jurnalis, kita kenal seperti padat merayap, tersendat, semrawut dan sebagainya.
Kemacetan lalu lintas sering dikaitkan dengan banyaknya kendaraan (baik roda dua, roda empat atau lebih) yang melintas di suatu ruas jalan. Selain itu, lalu lintas yang macet sering dihubungkan juga dengan sempitnya lebar jalan dan daya tampung jalan yang terbatas.
Sebagai contoh, Kota Bandung yang dibangun sejak jaman kolonial Belanda mempunyai tipe jalan yang lebarnya sekitar 4-6 meter dan mempunyai banyak persimpangan. Pertambahan ruas jalan baru pun sangat lambat.
Bahkan hanya beberapa, contohnya jalan Lingkar Selatan, Jalan By-Pass Soekarnoa Hatta. Yang terbaru dibangun adalah jalan layang Pasupati dan jalan layang KiaraCondong.Â
Jika diamati lebih jauh, sebetulnya kemacetan lalu lintas tidak hanya terkait dengan jumlah kendaraan dan prasarana jalan. Saya sering memperhatikan jika kemacetan lalu lintas yang terjadi seringkali diakibatkan oleh perilaku mengemudi.
Berikut ini saya buat daftarnya terkait perilaku mengemudi tersebut, yaitu:
1. Berhenti seenaknya
Seringkali para pengendara motor dan mobil menghentikan kendaraannya tanpa menghiraukan perbuatannya tersebut mengganggu arus kendaraan di belakangnya.
Contoh nyata yang bisa dilihat misalnya supir angkutan umum (bus, angkutan kota dan lain-lain), mereka seringkali berhenti di persimpangan jalan untuk menurunkan,menaikkan dan menunggu penumpang.