KAWAN saya, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, sebut saja MS, baru saja bercerita tentang pertengkarannya dengan ayah pacarnya. Sebenarnya bukan pacar dalam kubangan legal sebuah percintaan, sebab kawan saya itu menganggap jalinan asmaranya dengan NL hanya just for fun.
NL adalah salah satu mahasiswi MS. Saking seringnya mereka bertemu, maka tumbuhlah rasa di antara mereka. Kemudian terjadilah hubungan asmara. Entah sampai mana hubungan tersebut, saya sungkan menanyakan. Tapi, kata MS, hubungannya dengan NL hanya sebatas kulit, alias tidak sampai terjadi kontak seks.
Nah, suatu ketika MS bertamu ke rumah NL. Karena searah menuju kampus, MS berniat memberi tumpangan pada NL. Di ruang tamu, ayah NL bertanya-tanya. MS mengaku dosen NL. Si ayah tampaknya penasaran, sehingga munculah interogasi, ada hubungan apa MS dengan NL. Tanpa dosa, MS mengaku punya hubungan khusus dengan NL.
Dan murkalah ayah NL. Pria itu dengan nada tinggi mengatakan bahwa NL sudah bertunangan dengan seorang pria. Pria tersebut dulu kawan NL semasa SMA. Pertunangan tersebut telah berjalan tiga tahun, tapi rencana pernikahan belum kunjung disusun sehingga status pertunangan tersebut, sebut MS, bisa saja kadaluwarsa.
"Yang aku katakan pada ayah NL adalah bahwa pertunangan tak ubahnya memberi kelonggaran pada pihak pria untuk berbuat semaunya. Mau nginap di rumah pihak wanita diizinkan, mau bepergian kemanapun tak ada yang membatasi, mau berbuat semuanya monggo-monggo saja. Biarkan mereka pergi berdua, toh keduanya sudah bertunangan, begitu kira-kira pendirian pihak wanita. Enak betul," cerocos MS.
Begitu bebasnya pria berlindung di balik "status pertunangan", masih kata MS, baru nyaho ketika perempuan bertunangan itu hamil, kemudian si pria minggat! Atau, karena durasi pertunangan tersebut terlalu lama, maka lahirlah kebosanan.
"Ada indikasi NL sakit hati karena pernah memergoki tunangannya berteman sangat dekat dengan wanita lain. Ia menceritakannya padaku, dan aku memberinya wejangan. Tak tahunya kami malah akhirnya terlibat asmara. Agaknya terjadi kebosanan di antara NL dan tunangannya," sebut MS yang telah menduda sejak tiga tahun silam itu.
Saya manggut-manggut. Lepas dari apa yang dilakukan MS itu menurut saya juga keliru, benar juga ucapannya. Enak benar pria yang sudah bertunangan karena mau apa saja ada kartu truf bernama "tunangan", atau "tukar cincin". Seolah pertunangan adalah jilid pertama dalam rangkaian pernikahan, sebelum akhirnya jilid berikutnya tidak kunjung terbit karena si pria mengingkari janji, kemudian pergi. Lebih mujur lagi, bisa saja si wanita memutus pertunangan karena dia tergoda pria lain, atau sebaliknya, memergoki tunangannya memboncengkan WIL. Padahal, pada masa pertunangan tersebut si pria dan si wanita telah sekian kali melakukan hubungan suami istri ... Siapakah yang merasakan enaknya?
Budaya pertunangan diadopsi dari kultur barat, yang kini dilakukan di hampir semua warga di Indonesia, kecuali tentu daerah tertentu yang tak mengenal makna pertunangan, terutama di pedesaan. Mau nikah, ya lamar si gadis, kemudian tentukan hari, lantas langsungkan resepsi pernikahan.
Budaya barat yang ditelan mentah-mentah. Begitu bangganya orangtua pihak wanita menggelar acara resepsi mini untuk sebuah pertunangan yang sesungguhnya jauh dari sakral. Esok hari setelah acara pertunangan itu, begitu bangganya seorang gadis memamerkan cincin di jari manis kepada rekan-rekan kantor dan sejawatnya. Lalu, sepekan kemudian, si pria mengajak gadisnya berlibur. Di sanalah keduanya memadu kasih secara kebablasan, lalu dua bulan kemudian si gadis hamil.
Nah, karena si pria belum siap membina rumahtangga karena pekerjaan belum mapan dan tak punya tabungan -- ditopang ekonomi orang tuanya yang pas-pasan -- dia pun stress, kemudian pergi entah kemana. Saat ibu dan bapak gadis tadi kelabakan dan bingung mau berbuat apa, gadis yang tadinya ranum itu tiba-tiba mengurung diri dalam kamar lantaran perutnya kian hari kian membuncit saja ...