Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang-orang Ini 'Sarapan' Miras di Pagi Hari

6 April 2015   11:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari cikopo.wordpress.com

[caption id="" align="aligncenter" width="470" caption="Ilustrasi dari cikopo.wordpress.com"][/caption] Saya sarapan gudeg di warung semipermanen di trotoar Semarang Utara, tadi pagi. Tapi bukan gudeg yang mau saya kupas, melainkan kios rokok di sebelahnya yang menjual minuman keras. Seraya mengunyah gudeg, sesekali saya melirik ke kios sebelah. Pemiliknya, sebut saja Endang, sibuk melayani pembeli rokok atau kopi putih. Sesekali pula dia mengoplos teh botol bersoda ke dalam bekas botol air mineral yang telah terisi cairan bening. Cairan bening itu saya yakini "Ciu", minuman beralkohol yang diambil dari proses fermentasi ketela pohon cair yang terbuang dalam pembuatan tape. Konon, Ciu dicampur rebusan orok tikus (cindil) untuk memperkaya rasa. Pembelinya dua remaja tanggung, menunggang motor bebek pretelan, tinggal mesin, setang, kerangka, dan sadel. Dua remaja lusuh itu juga membeli dua botol Congyang (atau sering disebut CY atau ceye), minuman beralkohol produk Semarang yang legal sejak 2010. Membayar ciu dan Congyang, keduanya bergegas pergi. Tak lebih dari 3 menit kemudian, seseorang datang. Ini bapak-bapak berusia 50-an. Memakai kacamat minus berkumis tak terurus, pria ceking bermotor matik itu memesan Ciu. Dari tempat duduk saya suaranya terdengar jelas saat bilang: "Biasa, Mbak, seporsi ya." Tentu "biasa" yang dia maksud itu alkohol, dan tampaknya beliaunya ini sudah lama berlangganan pada Mbak Endang. Saat saya akhirnya mendekat pada Endang untuk membeli minuman kemasan, saya diberitahu olehnya, bapak setengah baya tadi kerjanya memancing tiap hari. Memancing ikan di tambak-tambak atau kawasan pantai Tanjung Mas seraya menenggak minuman keras, duhai, betapa nikmatnya hidup si bapak tadi. Cuma, bila dia mabuk saat menarik pancing dan tercebur ke laut, maka siap-siaplah keluarganya memesan tanah kuburan ... Beberapa orang lain berikutnya berdatangan memesan Congyang dan Ciu di kios di depan sebuah kompleks industri ini selagi saya masih belum beranjak dari sana. Satu persatu saya amati. Ada yang malu-malu saat membeli, ada yang cuek bebek saja, bahkan ada seseorang yang sungguh sangat tidak saya duga dia pecandu alkohol. Memakai baju rapi, berwajah kantoran, bersepatu pantofel, dan menyandang tas, si bapak dengan enteng menyebut "Ciu" tanpa banyak basa basi. "Tadinya dia kerja di pabrik ... (Endang menyebut sebuah perusahaan garmen terkenal), tapi sejak ditinggal istrinya ke Medan sama pria selingkuhannya dia udah nggak kerja lagi ... " tutur Endang soal pria berusia kira-kira 40 tahun tadi.

---

Para pembeli minuman keras, kata Endang, hampir semua pengangguran. Memang ada beberapa profesi disebutkan, umpama makelar bus, kuli panggul pasar, tukang becak, tukang ojek, satpam, atau keamanan perjudian, namun jumlah mereka sedikit.

Sebagian besar konsumen Ciu dan Cong Yang adalah anak-anak putus sekolah, lulusan SMP/SMA yang menganggur, pekerja bengkel yang beralih menjadi 'mekanik' trek-trekan liar, dan -- ini yang miris -- siswa sekolah (swasta pinggiran) yang bolos sekolah untuk pesta miras!

Membeli minuman keras kelas teri ini menjadi pilihan karena murah. Sebotol Ciu dalam bekas botol air kemasan 600 ml (botol tanggung) cuma Rp 20 ribu. Itu pun -- bila duit pas-pasan -- bisa beli separuh saja, dikemas dalam plastik setengah kiloan. Dengan uang saku Rp 15 ribu, siswa sekolah bisa beli setengah botol Ciu, plus beberapa batang rokok ketengan/eceran. Bayangkan bila mereka harus beli miras bermerk di diskotek atau lounge yang tarifnya selangit.

Negeri ini tengah kalut. Bayangkan, selagi para pekerja mengais nafkah, para pengangguran ramai-ramai menenggak alkohol di sudut-sudut gedung tak terurus hingga mabuk, di pagi yang masih segar dengan angin dan angan-angan. Nafas frustrasi ini menjadi 'angin segar' bagi setan untuk menggoda mereka menyusuri kehidupan kelam kriminalitas. Selebihnya, betapa tipis jarak antara surga dan neraka ...

Salah siapa?

-Arief Firhanusa-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun