Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Manuver Sukhoi, dan Izinkan Saya Menangis

26 Februari 2015   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi dari ppijawabarat.org"][/caption] Sudah lama saya tidak menangis. Tetapi menyimak berita pesawat tempur kita melakukan manuver di atas Lapas Krobokan, manik mata saya basah. Isak -- bahkan kadang tersengal -- menjadi ritual saya tiap HUT Kemerdekaan. Tiap 17 Agustus saya menyendiri. Hanya ada televisi dan air mineral. Saya teguk air itu ketika buncah tangis telah reda. TV itu menyiarkan detik-detik proklamasi. Bendera yang diboyong Paskibraka saya cermati inci demi inci. Ketika Bendera Pusaka diganti bendera baru -- tak peduli siapa presidennya -- untuk segera dikibarkan, saya mulai menitikkan airmata. Dan kemudian tangis meledak ketika bendera perlahan-lahan mengangkasa. Saya tak paham apa makna nasionalisme. Saya juga tak peduli apakah tangisan saya ini cengeng semata atau bentuk dari rasa memiliki negeri ini, yang pasti saya butuh menangis. Saya merasa perlu peduli bahwa apa yang kita nikmati hari ini, rokok yang kita hisap setiap hari, beras yang kita santap tiga kali sehari, makanan siap saji yang membaur dalam daging kita, motor yang kita naiki tiap hari ke tempat kerja, mobil yang membuat kita seolah kaya, dokter yang mudah kita jumpai di rumah sakit hingga Puskesmas, televisi yang kita tatap saban waktu, pernikahan yang bisa digelar di tenda hingga gedung dan menara, dan ... korupsi yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang punya celah dan kesempatan, adalah hadiah dari pejuang yang mengacung-acungkan tombak, parang, celurit, hingga pistol rampasan. Pejuang yang tubuhnya dibanjiri genangan darah tetapi dikhianati para begal berdasi. Saya sangat bangga hidup di negeri ini. Bangga punya KTP WNI. Bangga menghirup udara Indonesia yang sudah mulai tengik oleh keserakahan. Saya amat bangga mengatakan pada warga negara lain bahwa saya sangat Indonesia. Tahun 2000 saat masih bekerja di Mingguan BOLA (sekarang harian), saya di tugasi ke Korea Selatan. Di Seoul saya bertemu TKI asal Jawa Timur. Saya utarakan isi hati saya tentang kebanggaan pada Bumi Pertiwi, dan selalu merasa bahwa "inilah rumah saya sesungguhnya" setiap pesawat yang saya tumpangi mendarat di Soekarno Hatta. Si TKI meleleh. Matanya sembab lalu basah. Dia juga merasa mancanegara bukanlah rumahnya meski menjadi TKI dia mendapatkan upah lebih. Hingga saat ini Ramlan, TKI asal Jember itu, masih berkomunikasi intensif dengan saya, dan sesekali reuni. Maka ketika ada negara lain meradang, saya langsung mendidih. Tony Abbott atau siapapun mau mengusik kedaulatan Indonesia, menganggap Indonesia mungil dan layak dijajah, saya berada di garda depan untuk membela. Dipikirnya negara ini gampang dibeli apa! Maka, begitu mendengar manuver jet tempur di Bali guna menandaskan bahwa tentara kita kerjanya tidak melulu kerja bhakti mengurus got dan tanah longsor tapi juga siap berperang, saya amat bangga. Saya makin merasa sangat Indonesia kendatipun negeri ini digerogoti korupsi dan perlu segera dilakukan amputasi ... Right or wrong is my country! -Arief Firhanusa-

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun