Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran, Penyanyi Dangdut Wajib Berbusana Sopan

20 Juli 2014   22:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menarik seruan yang dicanangkan Pemda Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, terhadap para penyanyi dangdut di daerahnya agar saat menghibur warga tidak berbaju seronok dengan goyangan-goyangan mengundang. Ini dimaksudkan agar hakikat perayaan Lebaran dan Syawalan terjaga.

Sudah jamak, pedangdut begitu royal mengungkap keseksian tubuhnya melalui baju-baju minimalis, disertai ayunan tubuh yang tidak pada tempatnya, terutama di tempat-tempat rekerasi yang kuyup dengan anak-anak di bawah umur dan potensial memicu kerusuhan.

Di Jawa Tengah, tradisi Syawalan digelar di pesisir, mulai Demak, Kendal, hingga Pekalongan. Bahkan daerah-daerah yang tidak tersentuh laut macam Klaten maupun Solo pun menggelar ritual tersebut.

Seolah tergesa-gesa ingin meraup keuntungan, saat Lebaran (biasanya H+1) pengelola tempat wisata sudah mementaskan dangdut. Bukan dangdut yang Melayu, melainkan dangdut koplo bin seronok. Puncaknya saat Syawalan. Tradisi "sepekan setelah Lebaran" tersebut menempatkan dangdut sebagai 'sajian wajib'.

Mungkin ingin menyuguhkan dangdut yang sedangdut-dangdutnya, akhirnya banyak yang kebablasan. Dangdut ditampilkan seperti erotisme koplo di YouTube. Aksi panggung para penyanyi pinggiran ini meraup perhatian remaja (bahkan sebagian orang dewasa) untuk bergoyang ngedan yang -- bisa jadi -- turut dicampurtangani minuman keras.

Tak ayal -- selain 'mengkhianati' hakikat perayaan Syawalan -- kegilaan para penyanyinya melalui jingkrak-jingrak erotis membuat 'gila' para pecandunya. Sengat matahari dan panasnya alkohol menaikkan adrenalin para pejoget. "Senggol bacok" pun berlaku. Maka pecahlah bentrok massal. Setahu silam, di Gunungkidul Jogjakarta. Rokok seorang pejoget dari sebuah kelompok tanpa sengaja menyulut lengan pejoget dari kelompok lain. Akibatnya terjadi perang mulut, dan berujung pada bentrokan.

Di kota santri Pekalongan, masih pada tahun yang sama, penonton tak kuasa menahan diri dan ikut berjoget di atas panggung. Berdesakan, mereka kemudian terlibat perkelahian massal, tanpa menghiraukan nilai-nilai religiusitas perayaan Syawalan. Akibatnya kepolisan menghentikan pertunjukan tersebut.

Lebaran dan Syawalan tahun ini bertetangga dengan pengumuman hasil pilpres. Suhu politik masih hangat. Bisa jadi ada pihak tertentu yang ingin memanaskan suasana, dan terenyum lega tatkala bentrok dan kerusuhan menjadi 'tradisi baru' guna mengobati kekecewaan. Kerusuhan bisa meminjam pertunjukan dangdut nan erotis, lantas pada hari-hari berikutnya tumbuh di mana-mana bak jamur di musim hujan.

Ada baiknya pengelola tempat wisata maupun para pelaku dangdut menyadari sektor rawan ini, dan mewajibkan mereka untuk membungkus tubuh penyanyi dengan baju-baju sopan. Dan tentu saja mengeliminasi goyangan-goyangan pengundang syahwat!

-Arief Firhanusa-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun