Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Kita Negara Bola yang Tak Tahu Malu

6 Mei 2015   12:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="tribunnews.com"][/caption] Hampir seribu sekolah sepak bola (SSB) di seantero Nusantara, ratusan puslat yang mukim di hampir setiap provinsi, ribuan orang memakai kaos MU, Madrid, Atletico, Argentina, Chelsea, Barcelona, bahkan kostum merah berlogo Garuda di dada, menandai betapa negeri ini suka sepak bola. Pagi-sore orangtua mengantar putra-putranya ke SSB, ratusan anak-anak SMP turut seleksi PPLP, ribuan lulusan SMA mulai sibuk melamar ke klub-klub Liga Nusantara, para orangtua berduit menyiapkan jutaan uang agar anaknya diterima dalam seleksi-seleksi (sebab seleksi pemain untuk tim usia tertentu masih berlaku suap-menyuap), mengisyaratkan betapa menjadi pemain sepak bola adalah impian. Pendek kata, Indonesia adalah negeri sepak bola. Bohong bila ada yang bilang Indonesia negeri bulutangkis atau wushu. Negeri yang gemar bola tapi mimpinya di awang-awang. Mimpi menjadi Ronaldo atau Messi yang digantungkan di dinding-dinding kafe saat digelar nobar. Karena negeri sepak bola, atau dianggap negeri sepak bola, maka Indonesia dianggap pasar potensial bagi komoditi. Kemudian ada 'penjajahan' dalam bentuk siaran langsung yang haram bagi kafe maupun hotel menggelar Piala Dunia tanpa izin. Itu sebabnya belum lama ini sebuah perusahaan yang memegang hak siar menggugat hotel-hotel yang menyelenggarakan nobar Piala Dunia 2012. Impian dan harapan. Cuma itu yang masih kita punya sejak Ketua Umum PSSI Kardono melepas jabatan pada 1991. Impian yang dibiarkan menganga tanpa dibuahi prestasi. Selalu ada ungkapan: "Kompetisi ini akan menghasilkan timnas yang andal". Atau, "Mari kita petik pemain-pemain masa depan dari turnamen ini!" dalam pidato-pidato pembukaan. Itu bertahun-tahun. Itu puluhan tahun lalu. Tapi, janji sekadar di mulut saja. Kompetisi di negeri ini tak pernah membuahkan timnas yang menakutkan. Terlalu banyak belanja pemain asing jadi alasan. Pengkaderan jadi dalih. Kompetisi hanya melahirkan kerusuhan, kematian suporter, pemain asing yang meninggal karena sekian bulan tak digaji, unjuk rasa ke PSSI, sepak bola gajah, kecurangan wasit, penyuapan pada pengurus untuk meringankan hukuman, penyogokan pada oknum asosiasi agar jadwal pertandingan diatur demi keuntungan klub tertentu, atau, dan ini pernah parah, sepak bola dijadikan alat mendongkrak elektabilitas para calon bupati atau walikota menjelang pilkada! Maka, ketika saat ini sepak bola kita bergejolak, sebaiknya kita berkaca, apa sudah benar apa yang "kau lakukan"? Apakah ada dalam hati nuranimu spirit memajukan sepak bola tanpa niat mencari uang di dalam sebuah organisasi bernama PSSI? Apakah benar kau menyelenggarakan kompetisi sepak bola untuk tujuan membangun timnas hebat macam Korea Selatan? Selebihnya, masihkah kau punya rasa malu? -Arief Firhanusa-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun