Chelsea yang saya jagokan akhirnya gagal juara Liga Champions, bahkan malah terhenti hanya sampai semifinal setelah dibekuk Atletico Madrid, menjelang subuh tadi. Tapi, saya tetap menyukai Torres. Bila saja saya perempuan -- dan tentu masih lajang -- maka saya naksir padanya.
Tanggal 27 April lalu, Torres melakukan sesuatu yang tidak jamak di Stadion Anfield, ketika Liverpool menjamu Chelsea. Tidak jamak yang saya maksud, ia sebenarnya bisa membuat gol sendiri dengan menikung ke kiri saat sudah berhadap-hadapan dengan kiper Simon Mignolet, meski ia habis melakukan sprint panjang dalam serbuan balik super cepat. Tetapi, olala, ia malah memberikan bola pada William di sisi kanannya meski tetap berbuah gol untuk skor 2-0 bagi Chelsea.
Yang kedua subuh tadi. Jelas-jelas ia menyobek gawang Thibaut Courtois, dan jelas-jelas pula ia punya peluang untuk melakukan selebrasi meluncur dengan lutut di atas rumput seperti biasa ia lakukan setelah mengukir gol. Tapi ia hanya mengangkat dua lengannya, dengan ekspresi datar saja, sambil jalan perlahan-lahan.
Pada kasus Liverpool vs Chelsea, apa yang dilakukan El Nino -- sapaan khas Torres -- bermakna ganda. Pertama, ia pemain yang tak egois. Solidaritasnya sebagai bagian dari tim berulangkali ia tunjukkan, terutama ketika ia memakai seragam Chelsea. Beberapa kali ia mengalah memberikan umpan kepada rekan, ketimbang menggenjotnya sendiri. Padahal bila ia hajar sendiri peluang itu, kemungkinan besar terjadi gol. Ia bukanlah Ramires yang egois di luar maupun di dalam kotak penalti.
Kedua, kemungkinan ia tidak tega 'membunuh' kiper tim dalam stadion yang mana ia pernah menjadi pujaan publik. Empat tahun -- 2007-2011 -- Torres berseragam The Reds, dengan statistik 102 kali tampil, dan mendonasikan 65 gol.
Dalam kasus Chelsea kontra Atletico, tampak penyesalan dalam paras wajahnya justru setelah ia mencetak gol. Maklum, kiper Atletico adalah  Thibaut Courtois yang secara kepemilikan sebenarnya adalah kepunyaan Chelsea. Thibaut merupakan kiper ketiga The Blues, di bawah Petr Chech dan Mark Schwarzer. Di Atletico, Thibaut berstatus pinjaman.
Selain itu, paras datar Torres setelah menyarangkan gol ini barangkali juga disebabkan karena ia pernah dibesarkan oleh Atletico Madrid. Enam tahun ia berbaju merah putih itu, dari 2001 hingga 2007. Dalam kiprahnya membela Atletico, tercatat ia menciptakan 82 gol dalam 214 pertandingan di berbagai ajang. Itu sebabnya mengapa ia tampak kikuk, terutama saat hendak menembak ke arah jala gawang.
Apakah Torres tidak profesional? Tentu ia profesional. Jangan-jangan ia semacam pria sentimentil yang meleburkan perasaan dalam pertandingan. Ini juga bisa didebat dengan fakta bahwa ia tetap mencetak gol ke gawang Atletico, dan tetap berlari kencang ke arah gawang Liverpool meski di ujungnya penciptaan gol ia pasrahkan pada William. Itu pertanda bahwa ia tidak mengingkari kontrak dan gaji besar yang ia terima dari Chelsea. Hanya saja, Torres tetaplah manusia.
Solidaritas, toleransi, dan kesetikawanan yang ditunjukkan oleh Fernando Torres bisa menjadi cermin bagi kita semua, dalam hal positif tentunya. Bukan dalam konteks bagi-bagi rezeki haram dalam skema kongkalikong menyerobot uang rakyat. Bukan dalam kaitan jegal menjegal kawan separtai atau partai tetangga. Bukan pula dalam urusan main mata dengan kawan kerja ketika berbarengan ngembat duit kantor. Dalam konteks sedikit melebar, ia juga tak ingin kehilangan tali silaturahmi dengan mantan klubnya, terutama dengan fans fanatik yang pernah mengelu-elukannya.
El Nino, pria berbintang Aries yang sangat menyayangi keluarganya itu, adalah alasan mengapa saya tidak terlalu kecewa meski Chelsea batal juara.
-Arief Firhanusa-