Di tengah konser di sebuah hotel di Semarang, belum lama ini, saya tak bereaksi ketika tukang jaga pintu mendorong-dorong saya agar menepi lantaran di belakang saya ada dua pejabat yang hendak memasuki ruangan. Saya mengalah saja.
Di dalam ruangan, saya juga memilih berdiri, padahal undangan di tangan saya berstempel VVIP, alias mestinya saya duduk di kursi paling depan, atau kalau apes saya duduk di balkon. Mengudap makanan ringan dari panitia, seraya menonton konser dengan nyaman.
Tapi, biarlah. Toh saya tetap bisa masuk ruangan. Gratis pula. Tiket konser itu dijual Rp 250 ribu untuk VIP. Kelas festival Rp 150 ribu, dan di belakangnya Rp 100 ribu. Jadi, apapun saya syukuri sebab saya tak perlu merogoh kocek.
Berdiri berdesakan dengan pengunjung lain di tembok gedung, untuk sementara saya aman. Tapi baru setengah lagu dikumandangkan oleh si penyanyi, posisi saya jadi 'tak aman'. Seorang panitia senior, sebut saja Lusi, memergoki saya. Tampak terkejut dia memandangi saya berdiri, padahal mestinya saya berhak menduduki kursi. Lalu, lewat serangkaian debat -- dia ngotot meminta saya duduk, sementara saya bersikeras ingin berdiri saja -- akhirnya saya mengalah ketika Lusi menggamit lengan saya, menggiring menuju kursi utama. Di sana saya tidak enak hati ketika Lusi mengusir seseorang yang tak bisa menunjukkan secarik undangan, kemudian saya menggantikan pria setengah baya tersebut.
Saya jadi tak nyaman lagi. Lagu demi lagu saya lalui dengan pikiran tak tenang. Saya menyesal menuruti desakan Lusi, sebab 2014 bukanlah sepuluh tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, terus terang saya ugal-ugalan. Datang ke sebuah acara dengan sikap petentang-petenteng. Masuk sebuah ruangan dimana saya diundang, saya cukup menunjukkan ID-card pers yang tergantung di leher pada penjaga yang sangar, tanpa basa-basi, tanpa paras muka bersahaja. Pendek kata, batin saya selalu berucap: "Gue wartawan, lo mau apa!" Tak peduli itu di Gelora Bung Karno, rumah dinas seorang pejabat, atau di pintu-pintu konser.
Sekarang, saat semuanya sudah lewat dan pengalaman membuat batin saya kenyang, paradigma telah berubah menjadi: bahwa wartawan, jurnalis, reporter, itu cuma manusia biasa yang kebetulan bekerja di media massa. Wartawan tidaklah istimewa dan tak perlu diistimewakan. Dia hanya bertugas mereportase sebuah acara atau kejadian, memotret maupun merekam bila membawa kamera, menulisnya di kantor, kemudian esoknya dimuat (atau ditayangkan televisi). Sudah, itu saja.
Dua puluh tahun silam di era senior-senior saya, wartawan identik dengan rompi. Entah isinya apa kantung-kantung di rompinya itu. Sudah begitu, ada tulisan PERS di punggungnya. Stiker PERS itu pula yang menempel di mobil atau motornya. Ada ungkapan, wartawan jaman dulu gampang mencari istri sebab para orangtua gadis amat segan pada wartawan. Wartawan memiliki kasta yang tinggi sehingga di kampung-kampung sangat dihormati.
Lalu, pada era saya, wartawan identik dengan jins berlubang, di dengkul maupun di paha. Dengan jins yang sobek, plus rambut yang gondrong, seseorang begitu bangga bekerja di media. Saya pernah dipukuli polisi militer lantaran memotret becak-becak yang dibuang ke kali oleh Satpol PP, gara-gara saya memakai jaket korea. Jaket korea itu resminya hanya tentara yang memakai. Saat digebuki di markas polisi militer, saya ngotot bahwa jaket tersebut saya beli di pasar. Nah, bila jaket itu hinggap di pasar, berarti pernah ada yang melego jaket tersebut di pasar itu. Siapa lagi kalau bukan tentara! Saya sodorkan kartu pers saat punggung mulai sakit dipukul, dan dua PM yang menggebuki saya itu memohon maaf. Itu terjadi kisaran tahun 1997, sebelum Soeharto dilengserkan.
Zaman telah berubah. Saat ini semua orang bisa jadi wartawan, asli maupun bodrek. Kebebasan pers diartikan oleh sebagian jurnalis muda dengan "boleh petentang-petenteng", seperti di arena konser yang saya ceritakan di atas. Tiga wartawan muda ngotot ingin masuk di konser tersebut, padahal mereka tidak membawa undangan. Meski akhirnya diperbolehkan masuk, tapi ada hal yang mereka lupakan bahwa profesi jurnalis itu bukan semata-mata "boleh menabrak aturan", atau "boleh gratis di mana-mana".
Jiwa muda para jurnalis masa kini sangat ditunjang oleh kebebasan pers yang kerannya dibuka oleh Presiden Gus Dur. Tetapi mereka belum pernah meliput acara-acara besar yang penuh aturan macam bulutangkis Thomas Cup, Piala Dunia, SEA Games, Olimpiade, atau balapan F1.