Rabu (22/10) malam silam, dua anak saya saling bertelepon. Mereka patut gembira usai menonton PSIS yang gagah perkasa menenggelamkan Persiwa Wamena 5-0 di Stadion Jatidiri, Semarang, dalam babak 8 besar. Tak sia-sia mereka menyelip-nyelipkan motor di parkiran yang penuh sesak, berjejal di antara puluhan ribu penonton setelah bersusah payah memasuki pintu B Jatidiri yang diseting secara elektronik, yang hanya bisa terbuka bila penonton membawa tiket bersensor.
Dua anak saya itu semuanya pemain sepak bola. Yang pertama, Audrian Firhanusa, adalah bek tinggi besar mirip Robby Darwis di masa jayanya. Ia memasuki usia 17 tahun, mengidolai mantan bek Manchester United Rio Ferdinand, dengan cita-cita ingin bergabung dengan PSIS dua tiga tahun lagi. Saat ini ia digodok PS POP, klub binaan kepolisian yang juga klub anggota PSIS. Adiknya, Oktabrian Firhanusa, adalah gelandang tinggi ramping yang mengidolai Ahmad Muhariah dan playmaker PSIS saat ini, Ronald Fagundez, yang sekarang belajar di akademi milik pelatih PON Jateng Firmandoyo.
Dua anak penuh spirit yang menyimbolkan euforia persepakbolaan Kota Semarang dalam beberapa bulan terakhir. PSIS merupakan pelabuhan bila diibaratkan anak-anak yang tengah mekar macam anak-anak saya itu kapal-kapal yang sedang berkelana di belantara samudera. Banyak anak SSB di Semarang ingin menjadi pemain PSIS, dan tampaknya gelegak hasrat itu dijawab dengan prestasi PSIS yang naga-naganya punya kans besar menyeruak di blantika ISL, tahun ini.
Hanya selangkah lagi. Ya, tinggal memasuki semifinal, dan kemudian paling buruk juara kedua Divisi Utama PSSI yang berarti promosi ke ISL.
Tapi, apa lacur, tim berjuluk Mahesa Jenar itu sekarang menjadi pesakitan. Pertemuan dengan PSS Sleman dengan aroma dagelan sepak bola, Minggu (26/10) seolah rem angin truk gandeng yang menguras tandas hsrat bersepakbola para pemain muda. Bibit-bibit itu layu sebelum berkembang karena merasa cita-citanya dikebiri oleh para seniornya. Mereka terancam tidak bisa bermain seumur hidupnya. PSIS juga terancam dipelorotkan ke divisi di bawahnya. Bukan divisi utama lagi, melainkan harus bertanding dari kampung ke kampung dalam baju Liga Nusantara.
Ian, panggilan akrab Audrian, tampak malas-malasan ketika hendak berangkat latihan. Dalam beberapa ujicoba pascasepakbola gajah itu, timnya kalah. Ia tampak tidak bernafsu membendung gempuran lawan. Oka, sapaan Oktabrian, mengirimkan SMS ke saya begini, kemarin siang: "Aku nggak mau latihan, Yah, takut kalau salah nggak boleh boleh main lagi sama PSSI ... "
Trauma menggayuti para bibit pemain Semarang. Pembicaraan lesu juga saya temukan di tengah-tengah para orangtua pemain di sejumlah SSB di Semarang. Anak-anak mereka tidak siap membaca koran atau menonton TV yang beritanya menciptakan kesan bahwa PSIS -- dengan segenap pemain, pelatih, ofisial, dan pengelolanya -- adalah maling yang tertangkap tangan mencopet dompet. Nyaris semua media menyebutkan "sepak bola gajah" atau "dagelan sepak bola" dengan penyebutan besar-besar PSS dan PSIS! Mereka merasa menjadi bagian dari skandal memalukan itu.
Saya amat sedih. Sungguh sangat pilu. Delapan belas tahun menjadi wartawan olahraga, dengan sebagian besar liputan sepak bola -- tak mampu mengobati pedihnya hati mendapati kenyataan bahwa sebuah tim besar di kota saya melakukan tindakan konyol. Tindakan yang rekamannya tertanam dengan aman di situs-situs video macam YouTube yang bisa diputar kembali 10 tahun mendatang.
Saya mati-matian menyingkirkan tudingan sepihak kepada pemain-pemain PSIS serta pelatih dan ofisialnya, sebab bisa saja tindakan mereka disulut rasa jengkel lantaran pemain Sleman yang memulai. Tetapi alibi ini gugur ketika mereka tidak menyadari bahwa dampak dari aksi mereka itu merembes, membuat kapilerisasi ke sendi-sendi persepakbolaan Semarang hingga bottom up ke tingkat paling dasar: SSB-SSB yang para siswanya ingin menjadi pemain sepak bola, akademi-akademi yang menggodok bibit-bibit pemain untuk berlatih keras menjadi punggawa timnas, klub-klub anggota PSIS yang serius menyemai calon pemain untuk disodorkan ke PSIS.
Ah, betapa pilu hati ini kemana-mana disindir "sepak bola gajah". Bahkan mungkin hingga sekian tahun ke depan ketika anak-anak saya mencoba peruntungan di klub lain di luar Kota Semarang setelah merasa PSIS bukan lagi kandangnya ...
-Arief Firhanusa-