[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Bripda M Taufiq Hidayat di depan rumahnya. (Sumber: kompas.com)"][/caption] Sudah lama saya tidak menangis. Tapi membaca kisah Bripda M Taufiq Hidayat airmata saya meleleh. Kandang sapi menimbun semua perih yang pernah menusuk dada saya memandang kegetiran Pak Nasrun. Pak Nasrun adalah polisi sederhana. Dia tetangga saya. Tiap pagi dia memboncengkan tiga anaknya berangkat sekolah. Jangan bayangkan motor Pak Nasrun keluaran terbaru. Ia menunggang Suzuki keluaran 80-an yang knalpotnya sudah tidak utuh. Saya pernah membatin apakah Pak Nasrun tidak punya inisiatif mengredit motor sehingga terus mempertahankan kendaraan tuanya? Gaji dan (maaf Pak Nasrun, saya harus bilang ini) punglinya di jalan raya pastilah cukup untuk mengangsur sepeda motor. Polisi lalu lintas macam dia tentu tak jarang mendapat sambitan. Tapi dia menjawabnya dengan kalimat yang tak saya duga-duga, seolah dia tahu saya bertanya dalam hati. "Saya merasa sudah sangat cukup Mas hidup seperti ini. Kalau teman-teman lain melakukan (pungli), biarkan saja. Saya tak ikut-ikutan," kata polisi berkumis, kurus, dan berkulit hitam ini suatu ketika saat kami bertemu di sebuah hajat sunatan seorang tetangga. Sejauh itu saya salut. Salut dari akumulasi atas rasa kasihan yang saban hari menumpuk. Tetapi saya tak sampai menitikkan airmata. Saya anggap Pak Nasrun adalah polisi idealis yang jumlahnya mungkin sedikit di negeri ini. Namun, mengikuti kisah tentang M Taufiq sejak Kamis kemarin, saya mendadak sangat cengeng. Diam-diam, saat sendirian menonton TV yang meliput penderitaan polisi muda ini di Sleman, saya sesenggukan. Tak ada lagi malu pada diri sendiri. Menangis adalah cara terbaik untuk meyakini betapa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan yang wajib digenggam agar kita tidak jumawa. 'Mempermalukan' Polisi Rentetan perjuangan Taufiq menggapai seragam polisi bumi dengan langit bedanya dengan anak-anak orang kaya yang mendaftar Akpol diantar dengan sedan. Ia nekat. Ia menggenggam spirit dan menikmati penderitaan. Ia tidak takut bertarung dengan ratusan pendaftar yang berbekal ratusan juta untuk pelicin. Kemungkinan Taufiq diterima menjadi anggota polisi mungkin nol koma sekian persen. Bapaknya yang buruh bangunan sudah pasti cuma mampu memberinya sangu untuk angkutan kala Taufiq mencari SKCK di kantor polisi, mendapatkan formulir pendaftaran, tes fisik di Polres setempat, tes kesehatan di RS Bhayangkara setempat, tes lain-lain di Polda, di hari-hari yang berbeda. Sudah barang tentu dia tidak 'dikawal' atau dititipkan ke siapapun, sebagaimana peserta lain yang ingin instan menjadi polisi. Dan ternyata dia diterima! Sebuah prestasi besar untuk ukuran anak rakyat jelata, buah dari rentetan keprihatinan. Dan rentetan keprihatinan tersebut ternyata belum pupus. Setelah menjadi polisi dia tetap hidup melarat: makan dan tidur di bekas kandang sapi bersama ayah dan sejumlah adiknya yang masih kecil! Kandang sapi dan seragam polisi begitu kontras. Lazimnya uniform petugas negara digantung di lemari dan beraroma wangi. Tapi punya Taufiq ini berbau sapi. Sesuatu yang membuat saya menangis itu bukanlah aroma sapi, melainkan oleh mental baja yang ditunjukkan Taufiq saat difoto wartawan, diwawancarai, dan disorot kamera televisi. Tak ada canggung, dan rasa malu bahkan mungkin telah dia kubur sejak bertahun-tahun silam. Canggung hanya hinggap saat ia akan diberi hadiah motor oleh Gubernur Ahok. Sikap patriot tampak jelas di sorot matanya. Sikap yang bisa saja 'mempermalukan' wajah polisi tatkala kelak bila kariernya bagus Taufiq tetap teguh dengan sikap dan pendiriannya bahwa: polisi itu pelayan masyarakat, dan orang-orang di dalam institusi Polri wajib tidak kaya. Jika ada polisi yang kaya karena seragamnya, maka petugas negara itu patut dipertanyakan jiwa patriotismenya ... Bripda Taufiq belum mendapat gaji pertamanya. Senin depan saya renacana mau ke Jogja untuk urusan pekerjaan, dan berniat mampir ke rumahnya yang bekas kandang sapi itu untuk ngobrol panjang. Ada sesuatu yang ingin saya berikan sebagai simbol bahwa kami -- saya dan dia -- adalah sama-sama manusia lemah ciptaan Tuhan yang bakal kembali ke tanah sehingga selama masih ada nyawa dalam dada kita, maka kita wajib berbuat baik dan terbaik. -Arief Firhanusa-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI