HARI ini Megawati Soekarnoputri genap berusia 67 tahun. Tampak ada gurat-gurat vertikal di sekujur lehernya. Garis-garis penuaan yang tak bisa dielakkan, sebagaimana Titik Puspa yang lehernya tak bisa berdusta, meski wajahnya masih kinclong di usia 76.
Wajah kinclong itu tadi malam menyemburat tatkala Megawati duduk di depan Najwa Shihab dalam program "Mata Najwa" MetroTV. Sorot mata putri mendiang Soekarno ini -- berbalut kacamata minus yang sesekali sedikit merosot namun refleks dibenahi oleh pemiliknya -- masih seperti sepuluh atau bahkan dua puluh tahun silam: berkedip secara resisten tatkala menghadapi lawan bicara. Resistensi bukan untuk melakukan perlawanan, melainkan untuk memberi tekanan pada setiap kata agar orang di depannya paham.
Jujur saya bukan simpatisan PDI-Perjuangan, tetapi memandang Bu Mega rasanya saya tengah menatap ibu kandung saya: adem, teduh, dan setiap bersirobok mata itu pula seolah saya ingin mengadu.
Megawati dulu dikenal kurang mahir berdiplomasi. Ia lebih memilih bertutur lurus, tanpa bunga-bunga. Sekali berbunga-bunga, maka jarang orang lekas paham apa yang sesungguhnya ingin ia sampaikan. Dalam pidato-pidatonya, informal maupun kampanye, saat ia belum menjabat sebagai presiden, ketika menjadi presiden, dan setelah ia tidak lagi menjabat presiden, narasi dan muatannya begitu lugu.
Politisi yang berseberangan dengannya memanfaatkan celah tersebut untuk mengejek. Mereka bilang Megawati tak sepandai ayahnya ketika menyuport massa. Lebih-lebih Mega juga dianggap kurang gesit mengatur intonasi dan aksentuasi. Kadang bahkan ia dinilai kemayu menggerakkan dua bibirnya saat bicara.
Tetapi Megawati adalah monumen. Berangkat hanya jadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat pada 1986, perlahan tetapi pasti ia dijunjung bukan hanya karena putri seorang presiden besar, melainkan karena ia memiliki mutiara dalam dadanya.
Tadi malam, tampak ia cantik secara fisik maupun tutur kata. Ia begitu tangkas mengungkap pribadi, maupun karier politiknya. Bagaimana ia mengupas masalah kepresidenan yang mencatut nama Joko Widodo, bagaimana ia menyindir orang-orang yang bernafsu menjadi Presiden RI, bagaimana ia menghadapi cecaran Najwa dengan sentuhan keibuan, mengentalkan pendapat saya mengenainya bahwa Bu Mega telah melepaskan diri dari bayang-bayang Bung Karno, sesuatu yang dulu menjadi gunjingan bahwa Mega dikultuskan karena ia putri proklamator.
Di mejanya, tadi malam, Megawati secara berkala menata syalnya, menoleh sebentar ke tetamu di studio, menatap Najwa Shihab dengan serius dan terkadang jenaka, mengatur intonasi agar mudah dipahami, menurunkan suara dengan serak yang anggun, tersenyum kecil saat ia geli, kemudian berderap menaikkan suara ketika ada keterlibatan emosi, kita mungkin sepakat Megawati tak ubahnya ibu kepala sekolah sebuah SMA, atau tetangga sebelah kita, atau desainer Ane Avantie yang anggun itu.
Tetapi jangan lupa, Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri yang dilahirkan di Jogjakarta, pada Kamis Kliwon 23 Januari 1947 ini istimewa karena ia adalah pendaki gunung sejati dalam kehidupan politik yang tak pernah surut baranya di negeri ini. Ia tak pernah berkhianat dari prinsip-prinsip yang ia ciptakan dan ia genggam erat-erat. Ia Aquarius yang dikerumuni massa. Ia manusia berkarakter air yang mudah bergaul dan menempatkan diri. Lentur tetapi tegas.
Sekali lagi saya tekankan, saya bukan simpatisan PDI-Perjuangan. Tetapi, izinkan saya sangat menghormati Ibu Megawati Soekarnoputri.
-Arief Firhanusa-