Ini tulisan ringan-ringan saja, tapi mungkin bisa jadi bahan perenungan, walau mungkin sudah pernah bahan ini ditulis kompasianer lain.
Tak jarang saya melihat sebuah artikel diberi bintang (vote) oleh si empunya artikel. Anda juga, kan? Mereka, yang memberi vote itu, mengklik "teraktual", "menarik", "inspiratif", atau "bermanfaat". Dan karena yang mem-vote dirinya sendiri, tentu saja vote-nya ada di bagian paling depan.
Sah? Sah-sah saja, sebagaimana penyanyi memberi penilaian pada dirinya sendiri di ajang lomba-lomba di tivi yang rapornya via SMS. Bedanya, di pentas pencarian penyanyi tak ada orang lain yang tahu bahwa si penyanyi diam-diam mem-vote dirinya sendiri, sementara di Kompasiana vote tersebut tertayang kentara.
Tadinya ada sedikit ganjalan di hati saya. Masa artikel sendiri diberi penilaian sih? Ada kesan vote tersebut menyiratkan kekaguman pada diri mereka sendiri. Kelar menulis, mendadak dia bilang "wow!" lantas tangan bergegas mengklik salah satu dari empat "bintang" yang disediakan admin.
Persepsi lain adalah bahwa si penulis mencoba menggiring pembacanya untuk turut mengklik vote secara seragam. Maka, jika vote-nya sama dalam jumlah banyak, artikel tersebut mengalir ke "ter-ter" di antara empat "ter" (padahal, bisa saja pembaca meng-klik vote berbeda, sehingga meski "bintang"-nya cukup banyak namun tulisan tidak masuk ke kategori "ter-ter" tersebut).
Kendati mungkin ada sebagian yang menuturkan bahwa mem-vote tulisan sendiri adalah onani, tetapi saya rasa itu manusiawi. Saya rasa itu cuma perkara kebiasaan saja, sebagaimana saya selalu men-share artikel-artikel saya di Google Plus maupun Twitter. Saya -- dan mungkin juga Anda -- sering risau jangan-jangan artikel yang susah payah saya bikin tak dibaca orang lain, meski menurut saya artikel-artikel itu menarik, atau meminjam motto Tempo, "enak dibaca dan perlu".
Saya kira pula, banyak cara di Kompasiana bagaimana artikel kita mendapat banyak vote, memperoleh puluhan komentar, dan nangkring di headline maupun trending article. Saya kira sebagian dari Anda sudah tahu "cara" yang saya maksud itu tanpe perlu menyebut "Tim Hore", hahahaha .. maaf.
Prinsipnya, menulis saja tanpa harus dibebani 'dosa'. Tuangkan apa yang ada dalam pikiran. Soal dibaca atau tidak, setidaknya kita telah curhat dan melakukan koneksi dengan sesama. Saya pun sebenarnya merasa 'berdosa' sebab terkadang dihinggapi cemas, jangan-jangan tulisan saya tak dibaca, jangan-jangan orang-orang cuek saja, jangan-jangan ... sehingga melakukan promosi berlebihan dengan menggeret artikel ke Twitter maupun Google Plus.
Ada perlombaan yang tragis di antara para komapsianer, dan celakanya saya terlibat di dalamnya dengan 'mengkhianati' admin yang telah menganugerahi saya "centang biru" di ujung nama saya ...
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H