[caption id="" align="aligncenter" width="499" caption="-Ilustrasi, Tenaga Kerja Wanita. (KOMPAS.com)"][/caption] Di tengah perih hati membaca berita mengenai nasib Satinah di Arab Saudi -- kepedihan serupa juga menerpa saat hukuman pancung dihadapi Darsem, pada 2011, meski kita lega karena Darsem lolos dari hukuman mati -- saya bersyukur karena tidak menghadapi persoalan-persoalan pelik seputar nasib malang TKW di tengah keluarga saya. Adik bungsu saya, Eni Mustikarini, pernah bertahun-tahun menjadi TKW. Pertama di Singapura, kisaran 2001-2004, kemudian berpindah ke Hong Kong pada 2004-2007. Hanya lulus SMA, Eni nekat kabur ke luar negeri karena menghadapi persoalan berat di rumahtangganya. Selang beberapa bulan setelah cerai, ia mengabarkan telah berada di sebuah penampungan TKI di Jakarta, meninggalkan putranya yang saat itu baru berumur 6 bulan. Kami panik bukan kepalang. Tak pernah dalam sejarah keluarga kami anggotanya menjadi TKI, sehingga maklum bila kami diremas beribu cemas mengingat pada saat itu suratkabar intens memberitakan penderitaan WNI yang jadi TKI/TKW. Apalagi ketika itu ia baru berusia 20 tahun. Pagi menjelang bertolak ke Singapura, dia menelepon saya, berusaha meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. Setahun telah berlalu, Eni rutin mengabarkan kondisinya di luar negeri, dan secara berkala berkirim uang untuk anaknya yang diasuh Bapak. Ia menceritakan tentang kehidupannya di apartemen yang menyenangkan, meski harus mengasuh anak berusia 5 tahun. Majikannya -- sepasang suami istri berusia muda yang dua-duanya bekerja di pemerintahan Singapura -- sangat baik hati. Hampir tiap akhir pekan, bila tak ada acara kumpul-kumpul dengan TKW lain, Eni diajak jalan-jalan ke pertokoan atau rekreasi. Tak jarang ia dibelikan baju atau celana. Pada 2004, Eni pulang kampung setelah mengakhiri kontrak ketiganya. Menuju Jakarta, ia diantar oleh dua majikannya plus si kecil yang sudah memasuki bangku sekolah dasar. Eni menceritakan, di bandara ia dipeluk oleh mantan majikan perempuannya. Keduanya menangis tersengal-sengal menghadapi perpisahan. Sebuah fragmen indah yang hampir tak pernah kita dengar perihal interaksi babu-majikan di lingkup TKW ... Beberapa bulan di Jawa, Eni mengutarakan keinginannya bekerja di Hong Kong. Kami menilainya telah tumbuh dewasa, sehingga kami pun hanya mengangguk ketika dia meminta izin. Tak lama berselang, ia pun sudah sampai negara kepulauan yang pekat dengan aktivitas bisnis tersebut. Di Hong Kong, nasib Eni tak beda jauh dengan di Singapura. Ia mendapat majikan setengah baya yang lebih baik ketimbang sebelumnya. Jauh dari yang kita bayangkan, Eni sering diajak makan satu meja dengan majikannya di sebuah apartemen yang luas, diwejangi oleh sang nyonya agar tidak terpeleset ke pergaulan sesat antarTKI, diajari Bahasa Kantonis agar lebih lancar, dan bahkan dilatih meramu jamu-jamuan Cina. Saat itu Eni digaji sekitar Rp 4,5 juta, plus tip-tip tak terduga di akhir bulan. Tiga tahun kemudian, Eni memutuskan pulang. Seperti di Singapura, dia juga mendapat simbol perpisahan yang menyenangkan. Ia dibelikan koper baru yang lebih besar, diberi tambahan uang di luar gaji, dan mewanti-wanti agar Eni bahagia hidup bersama suaminya. Ya, sesampainya di Semarang, ia kemudian memang menikah dengan bekas kawan seangkatan di SMP. Kini, Eni hidup di Pontianak, mengembangkan sebuah usaha di sana bersama suami dan dua anaknya. Dengan suami kedua, ia dikarunia satu anak laki-laki. Ibu Endang, TKW di Malaysia Mungkin garis takdir, Bapak harus menikahi Bu Endang Widiawati, seorang mantan TKW di Malaysia. Jujur saya tak tahu asal muasalnya bagaimana Bapak berjodoh dengan Bu Endang. Setelah lama menduda sejak ibu kandung saya wafat pada 2004, tiba-tiba Bapak berkirim surat dari Demak, Jawa Tengah. Isi surat antara lain mengabarkan bahwa Bapak berniat menikah kembali dengan wanita tetangga kecamatan, namanya Endang. Sejauh itu saya tidak tahu Bu Endang adalah TKW. Baru ketika saya menelepon Bapak selang beberapa hari kemudian untuk menanyakan kapan hari pernikahan agar saya bisa mengambil cuti, Bapak menyebut "tunggu Ibu pulang dari Malaysia". Beliau berterus terang bahwa 'ibu baru' kami adalah tenaga kerja wanita. Bapak ekstrahati-hati mengatakan itu. Mungkin takut saya protes, atau menolak. Tapi nalar saya sudah cukup dewasa. Setelah merenung beberapa detik saat bertelepon itu, saya mengatakan: "Memangnya salah kalau Bapak menikahi TKW?" Begitulah, Bu Endang akhirnya resmi menjadi ibu kami. Kami tak pernah menyebutnya "ibu tiri" hingga beliau wafat pada 2012 lalu, sebab Bu Endang cukup keibuan, meski jarak antara usia saya dan usia beliau hanya terpaut beberapa tahun, sehingga kami menganggapnya sebagai pengganti Ibu. Di kumpul-kumpul keluarga, sering Bu Endang menceritakan pengalamannya menjadi TKW. Tak pernah ia singgung masalah penderitaan. Beliau merasa baik-baik saja meski di negeri orang bekerja sebagai babu yang mencuci baju majikan dan tak jarang mengepel lantai yang diceceri kotoran ayah si majikan yang terkena stroke. Dalam banyak obrolan dengan kawan, saya tak pernah malu mengatakan bahwa dua anggota keluarga kami adalah mantan TKW. Saya amat bangga menceritakannya. Bukan atas dasar muluk-muluk menggunakan ungkapan mentereng "pahlawan devisa", melainkan karena bagi saya TKW maupun TKI adalah pejuang. Mereka tak ubahnya orang-orang yang gagah berani mengarungi hutan belantara dengan senjata ala kadarnya, demi mengais nafkah, selagi negeri ini belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Saya bangga punya adik dan ibu yang TKW, tatkala sebagian orang bangga menceritakan anggota keluarganya yang insinyur pertanian atau dokter spesialis kandungan ... Semarang, 1 April 2014, 12.06 WIB Arief Firhanusa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H