Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teman Keluar dari Penjara, Bagaimana Sikap Kita

19 April 2014   15:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 1 April 2014, seorang kawan menuntaskan hukumannya di Lapas Demak, Jawa Tengah, dalam kasus perkelahian. Teman saya itu, sebut saja Herman, pagi-pagi menelepon. "Ndes (sapaan akrab Semarang, setara dengan "dab" di Jogja, atau "cak" di Surabaya) aku dah keluar. Sarapan soto Stadion Diponegoro ya. Ketemu di sana setengah sembilan, besok pagi," ujarnya.

Bagi yang tak biasa menghadapi situasi ini pasti menghindar bertemu mantan narapidana. Ada sikap-sikap antipati, jengah, bahkan jijik. Tapi saya telah berkali-kali berhadapan mereka yang baru saja keluar dari bui. Dua tahun silam, saya malah menjemput kawan saat detik pertama keluar dari Lapas Kedungpane Semarang, dalam kasus yang lebih berat: narkoba.

Sama seperti saat menemui Bandi (nama samaran untuk teman yang kena kasus narkoba itu), bertemu Herman saya juga tidak kelimpungan atau menganggapnya hewan. Herman malah dua kali berurusan dengan hukum. Yang pertama, dua tahun silam, ia diinapkan di sel sebuah Polsek di Kabupaten Semarang karena kasus narkoba. Entah mengapa ia dilepaskan. Mungkin bukti dan saksi tak mencukupi untuk menyeretnya ke pengadilan.

Di warung soto, pagi tanggal 2 April lalu, saya menatap Herman dengan seksama. Tatapan lembut tanpa bermaksud menempatkannya dalam sebuah ruang yang membuatnya merasa bromocorah. Saya menanyakan kesehatannya, memuji kulitnya yang kini lebih putih, atau sedikit menyanjungnya karena ia kini tidak perokok.

Saya menghindari pembicaraan mengenai penjara. Menyinggung kehidupan bui harus dilakukan ekstra hati-hati karena bisa saja ia trauma. Saya lebih bersikap mendengar cerita-ceritanya, dan selalu berusaha agar ia merasa benar-benar sebagai manusia.

Toh ketika ia mulai menyinggung LP serta kegalauan-kegalauannya mengenai kehidupan keluarganya, saya juga mengikuti ritmenya. Banyak pelajaran yang ia petik semasa hidup di lapas. Ia mengaku lebih sabar dan tawakal. Di lapas ia rajin sholat lima waktu, dan sesekali mengaji. Herman yang saya ketahui dulunya memang rajin beribadah karena lahir dari keluarga yang taat beragama. Kasus narkoba dan perkelahian yang menjeratnya, semata karena ia salah pergaulan. Khusus kasus perkelahian, sebenarnya ia membela kawannya yang dianiaya sekelompok orang.

Pada bagian lain Herman curhat mengenai istrinya yang berperilaku beda sebelum Herman dipenjara. Sempat ia khawatirkan istrinya itu berselingkuh selama tiga bulan ia tinggalkan. Hermina -- istri Herman, nama saya samarkan -- saya pergoki tampil lebih modis ketimbang dulu, saat Herman masih menjalani hukuman. Sempat saya batin, jangan-jangan dia membina hubungan dengan PIL ketika suaminya mendekam di penjara. Maklum, ditinggal suami dalam kurun waktu lama bisa saja mengubah sikap seorang wanita.

Tapi, di hadapan Herman saya katakan bahwa istrinya baik-baik saja, dan setia menungguinya keluar dari bui. Saya tak berniat membuatnya kalap, atau menggencetnya dengan hal-hal miris. Saya tahu persis sesensitif apa seseorang yang baru saja di-"karantina". Ia tak boleh dibuat merasa bersalah, tak boleh pula diajak menoleh ke belakang. Herman punya dua anak berusia di bawah 10 tahun. Ia harus terus dipandu untuk selalu menatap ke depan dengan perencanaan-perencanaan positif bagi rumahtangganya.

Sama seperti ketika membimbing Bandi yang kini malah sukses sebagai tangan kanan seorang tokoh masyarakat di Jakarta, mengelola perasaan Herman juga harus telaten dengan niat melakukan pendampingan.

Bandi malah lebih parah. Keluar dari kerangkeng setelah hidup di sana lebih dari setahun, tampangnya masih beringas. Ia bukan pecandu yang butuh rehabilitas tapi hanya berperan sebagai kurir sabu. Namun, bukan berarti bila hanya sebagai kurir tidak bisa membuatnya 'sakauw'. 'Sakauw' yang saya maksud adalah semacam jetlag turun dari pesawat. Ia sangat sensitif dan sindrom terhadap sorot mata orang-orang di sekitarnya.

Berminggu-minggu saya ngotot mengentaskannya dari dalam kamar yang membuat ibunya kalut. Saya ajak dia ke kantor, meski malu-malu. Saya bedah introvert-nya dengan menonton film, mengajaknya ke acara-acara talkshow dan seminar, atau sekadar jalan-jalan di keramaian. Perlahan-lahan, jiwanya kembali hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun