[caption id="attachment_323344" align="aligncenter" width="576" caption="Kapal Queen Mary. (Sumber foto: terragalleria.com)"][/caption]
Hari ini saya mendapat pelajaran hidup. Di sebuah masjid di kawasan Sampangan Semarang, saya bertemu Anggoro (25). Selesai salat dzuhur, ia menangkupkan kakinya ke sepatu, tepat ketika saya juga sedang memasang sepatu di sebelah anak muda ini. Kami pun basa basi kemudian saling tanya.
Anggoro tinggal di Kedungmundu, Kecamatan Tembalang, Semarang. Parasnya cokelat cenderung hitam. Sorot matanya tajam. Tadinya saya kira ia intel atau reserse karena secara tubuh ia tegap, sedikit gondrong khas polisi kriminal, dan nada bicaranya tegas. Tapi ternyata ia bekerja di kapal. Ia mengaku pulang ke Semarang untuk memperpanjang paspor.
Anggoro bekerja di kapal Queen Mary, milik Taiwan. Itu kapal niaga, mengangkut penumpang lintasbenua, dan menurut Wikipedia kapal ini merupakan salah satu kapal terkenal di dunia sebagai kapal Trans-Atlantik. Dok-nya di Taiwan, untuk kemudian menyusuri rute Taiwan-Jepang-Argentina-Skotlandia-Afrika (terutama negara kepulauan Maritius).
Di kapal tersebut, lulusan SMK jurusan mesin ini bekerja sebagai chief di bagian mesin. "Chief itu hanya istilah saja Mas, biar (terdengar) keren. Sebetulnya kerjaan saya mirip mandor," tuturnya merendah. Sikap merendah itu ia tunjukkan pula ketika ia mengaku hanya lulus STM (sebelum kini jadi SMK), kemudian belajar lagi selama setahun memperdalam ilmu pelayaran.
Anggoro juga mati-matian bertahan untuk tak mengakui berapa gajinya per bulan. "Ayolah, katakan saja berapa gajimu. Toh tak akan berkurang jumlahnya bila kamu berterus terang berapa kamu digaji di kapal itu," uajr saya merayu.
Setelah ia pikir-pikir, akhirnya ia sebutkan Rp 25 juta. Jumlah itu adalah hasil kurs kasar atas gaji bermata uang euro yang dia terima. Rp 25 juta itu masih bisa bertambah bila ia lembur, atau mendapat bonus tertentu tiap bulan. Jumlah yang jauh di atas gaji pokok seorang menteri di Indonesia yang 'cuma' Rp 18 juta (sebelum para menteri mendapat tambahan-tambahan lain).
Sudah dua tahun Anggoro bekerja di Queen Mary. Bila sebulan ia menerima kotor Rp 25 juta, berarti selama setahun setidaknya ia punya tabungan sebesar Rp 500 juta setelah ia membayar ini itu, belanja ini itu, serta 'menjalankan kewajiban' mengirimi orangtuanya di Semarang untuk rutinitas bulanan maupun saat orangtuanya memerlukan uang dalam jumlah lebih banyak untuk acara-acara tertentu. Oya, Anggoro adalah anak tunggal. Ayahnya bekerja di proyek (entah dengan jabatan apa), dan ibunya ibu rumahtangga biasa.
Dengan tabungan Rp 500 juta, plus nanti ditambah kontraknya diperpanjang hingga dua, tiga, atau lima tahun lagi, maka sudah cukup baginya untuk membuka usaha di Indonesia, terutama di Semarang, sebagai bekal menuju hari tua. Usaha apa yang ia ingin buka?
"Saya ingin buka lapangan futsal, Mas, entah dua atau tiga lokasi di Semarang," ujarnya. Mengapa lapangan futsal? "Itu invest yang tak ada habisnya, mirip rumah kos-kosan. Makin ke sini, orang makin suka main futsal, tak peduli berapa usia mereka," paparnya.
Saya terkesima dengan prespektif anak muda ini, dan diam-diam mengaguminya. Mencoba membandingkan antara Anggoro dengan seorang famili saya yang bekerja di kapal pesiar dengan penghasilan yang tak jauh beda dengan Anggoro tapi uang famili saya ini ludes entah untuk apa, saya angkat topi untuk anak muda yang punya cita-cita luhur untuk mengangkat derajat dan martabat keluarganya.