Anda pernah menjalani 'ritual' malam pertama? Kalau iya, pasti Anda sepakat bahwa kebersamaan Anda di 'malam penahbisan' tersebut haruslah rapat, tanpa celah, tanpa satupun orang lain boleh melirik, apalagi mengintip. Perlu suasana syahdu. Kalau perlu, angin pun tak boleh menyelinap karena pasti akan mengganggu.
Tetapi, membaca female.kompas.com ini, rasanya kok janggal ibu mertua diharuskan hadir di kamar putrinya yang tengah menempuh malam pertama. Sebuah malam yang amat sakral, sebab di titik itulah mempelai akan menemukan surga atau nerakanya. Sebuah malam di mana hampir semua bintang luruh menyerbu peraduan. Sebuah malam penegasan dan persenyawaan.
Kebutuhan akan suasana yang temaram dan sepi ini tentu menjadi tak menentu bila ada kehadiran manusia lain di kamar pengantin. Dia duduk bersila atau bersedekap di sudut ruangan, memasang muka serius dan mengamati gerak-gerik sang putri tengah melayani suami. Mungkin juga membuat catatan-catatan penting soal kelemahan-kelemahan sang anak dalam memuasi suami.
Ah, betapa risihnya sinergi suami-istri untuk yang pertama kali ini disaksikan orang ketiga, bahkan bila itu ibundanya sekalipun.
Tak di jelaskan dalam artikel di Kompas Female tersebut apakah putri dan menantunya harus menanggalkan segenap busana, atau ditutupi selimut. Tak dijelaskan pula durasi kehadiran sang ibu ini lama atau sekejap saja. Sekejap dalam arti menyaksikan sebentar anak dan menantunya tengah memadu kasih sebagaimana sepasang remaja berpacaran secara normal kemudian meninggalkan ruangan, ataukah si ibu ini harus stand by di sana hingga fajar tiba.
Yang pasti, tradisi di Kota Cali, Kolombia, ini tentulah tak mungkin dilakukan di Indonesia (atau mungkin ada yang bisa memberitahu saya tradisi semacam ini berlaku di daerah tertentu di negeri ini?) lantaran terdapat adat ketimuran plus nilai-nilai moral yang belum sampai pada batas ditabrak lantaran ada dekadensi parah di negara yang baru saja melakukan pemilihan presiden ini.
Sebagai gambaran mengapa malam pertama ini tidak mudah dilakukan meski dua sejoli telah diikat dalam biduk suami istri, sepekan sebelum puasa seorang kawan saya yang duda mengisahkan betapa sulitnya memulai hubungan intim dengan istrinya.
Pada malam itu, sehari setelah melangsungkan resepsi, Abbas (sebut saja begitu) mengajak istrinya berbulan madu di Jogjakarta. Setelah jalan-jalan dan berbelanja di Malioboro, keduanya meluncur dengan mobil menuju hotel. Di kamar hotel, mereka ngobrol panjang menceritakan macam-macam. Hingga dua jam tak ada isyarat-isyarat menuju peraduan. Bahkan hingga mata mereka mengantuk, dan keduanya rebah tidur di atas kasur, tak ada aktivitas apapun yang 'menyerempet' ke arah 'sana'. Padahal, istrinya itu janda yang bertemu duda (keduanya sama-sama beranak satu), yang notabene tentulah berpengalaman dalam kehidupan ranjang.
Apakah kemudian mereka tidak melakukan 'kewajiban'-nya hingga sebulan setelah pernikahan? Tentu saja tidak. Saya hanya ingin melukiskan betapa sulitnya memulai hubungan suami istri ketika dua sejoli menapak malam pertama, padahal mereka hanya berdua saja di kamar yang senyap.
Lalu, apa jadinya bila malam pertama ditunggui ibu mertua ...
-Arief Firhanusa-