Bayangkan rasanya bila Anda berpisah dengan sesuatu yang menemani Anda selama dua puluh tahun. Mungkin perihnya persis dengan perceraian. Begitulah rasa-rasa yang menyerbu saya tatkala memutuskan untuk tidak merokok sejak sebulan silam.
Namanya juga cerai, kesepian sontak menyergap. Pagi biasa menyeruput teh dengan hisapan-hisapan asap, kini hanya disuguhi koran dan hiruk pikuk tetangga. Tak ada pula rokok di kamar mandi kala saya BAB. Makan pun sendirian, dengan cuci mulut yang sangat jauh dari aroma cengkeh.
Hidup baru yang awalnya kikuk kini sudah mulai melewati fase adaptasi. Saya harus membiasakan tabah ketika mengobrol dengan sekumpulan perokok. Harus mampu membendung rayuan sigaret saat menunggu seseorang atau berdiri di suasana sepi. Harus pula bisa tetap mengalirkan kata-kata kala menulis sesuatu. Padahal, dulu saya sangat tergantung rokok untuk mengayunkan imajinasi.
Pendek kata, kini saya resmi bukan perokok lagi. Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya menghentikannya dan apa sebabnya.
Sebulan silam, bangun tidur dada saya terasa sakit. Ada ngilu di dada sebelah kiri yang rasanya tak terperi. Jangan-jangan jerohan saya rusak, begitu batin saya. Pikiran yang ditekan risau lantaran pagi itu saya sesak nafas kala merokok pascasarapan. Asap yang menyerbu tenggorokan saya rasanya pahit, hambar.
Siangnya, ucapan dokter melegakan. Dia bilang sakitnya dada saya disebabkan salah urat saja lantaran tidur miring hampir sepanjang malam. Keseleo dada menciptakan hal yang tak saya sangka-sangka, aroma cengkeh yang semula amat lezat menjadi begitu pahit dan sangat tidak enak.
Rasa pahit itu terus hinggap, bahkan ketika saya mencoba ganti-ganti rokok. Hambarnya mungkin setara dengan gambar-gambar mengerikan di bungkus rokok yang sama sekali tak membangunkan tobat para perokok. Gambar-gambar yang ditempelkan di bungkus itu justru menggelikan perokok lantaran caranya menakut-nakuti sungguh konyol.
Perokok berat macam saya sanggup membakar sebungkus lintingan sigaret dalam setengah hari. Katakanlah sehari semalam saya mengonsumsi 2-3 bungkus rokok, berapa jumlahnya dalam sebulan? Berapa uang saya bakar dalam sebulan bila taruh saja sebungkus rokok putih harganya Rp 13.000?
Almarhum Bapak pernah sangat meradang saat saya terkena razia di SMA, dengan dakwaan ada sebungkus rokok di tas saya. Sejak lulus SMA hingga kuliah dan sampai saya mulai berumur, saya perkokok permanen yang tiap hari digenjot gulungan asap dan nikotin. Dalam kurun waktu hampir 20 tahun, saya telah lebih lima kali berganti merk, dengan kenaikan-kenaikan tarif cukai yang tak pernah saya gubris.
Hingga akhirnya kini saya berhenti! Tidak secara perlahan-lahan seperti anjuran orang, melainkan stop secara pakem, mirip rem angin bus malam. Tak ada lagi aktivitas merokok, berganti permen atau makanan ringan yang kini selalu saya selipkan di tas laptop di punggung saya.
Seperti mereka yang sudah berhenti merokok, tubuh saya terasa ringan. Tak ada pusing di kepala seperti dulu menyelip di tengkorak kala saya masih aktif merokok. Bibir juga mulai kemerahana setelah sekian tahun tampak hitam dan kusam. Dada pun tidak sepanas dulu ketika kini saya lari-lari di lapangan futsal.