Setidaknya telah empat kali ini saya menulis tentang Cak Lontong di Kompasiana. Tiga di antaranya merupakan sanjungan. Pria tinggi besar ini, tadinya, memang pantas disanjung. Sebagai comic di stand up comedy, ia kaya joke segar dan mendadak. Di Indonesia Lawak Klub (ILK) sosoknya sungguh sentral. Tanpa Cak Lontong, ILK jadi hambar.
Tetapi belakangan ia terjerembab dalam kapitalisme televisi negeri ini. Cak Lontong yang kental mendadak jadi cair, dengan pakaian serupa badut atau vampire, dengan joke-joke yang hampa bin dipaksakan. Ia teken kontrak untuk program-program keroyokan mirip almarhum Yuk Keep Smile.
Di ILK pun kini jejak Cak Lontong nyaris punah sebab di acara yang dulu amat mengesankan tersebut ia tertimbun oleh modiifikasi yang dilakukan tim kreatif dengan lebih memunculkan gontok-gontokan Jarwo Kuat dan Komeng, menciptakan adegan-adegan mirip panggung lawak sehingga ILK lambat laun tak ubahnya acara lawakan dengan pemain-pemain berdasi. Padahal, dulu Cak Lontong adalah gong. Kemungkinan besar tim kreatif acara ini berupaya menyegarkan ILK dengan varian baru, warna baru. Sayangnya, warna baru itu malah membuat ILK berhadap-hadapan dengan kecerewetan pemirsa yang menginginkan program ini kembali ke asal.
Pendek kata, Cak Lontong kini sudah tak lucu lagi. Secara ekstrem boleh dikatakan kelucuan Cak Lontong sudah terkubur sebagaimana komedian-komedian lain yang dikaramkan oleh televisi. Cak Lontong memang tak sendiri. Ada Komeng yang dulu lucu, kini tak ubahnya orang antah berantah yang muncul di layar kaca. Juga ada Wendy dan Denny Cagur yang awalnya pintar mengocok perut tetapi kini tak ubahnya cuma teman di kala sepi ibu-ibu dan anak-anak yang kecanduan TV di pagi-siang-malam-hingga pagi berikutnya.
Kemana pula Sule, Parto, Azis Gagap, Nunung, dan Tukul Arwana? Sule, komedian cerdas itu, membuat fans-nya bosan karena terlalu sering nongol di layar TV. Begitu pula Parto, Nunung, dan Azis. Opera van Java telah meninggal dunia kehabisan tenaga, yang kini mendamparkan para awaknya ke program Lenong Rempong Trans7.
Tukul Arwana masih lucu? Sebagian pemirsa TV mungkin mengatakan begitu. Tapi tengoklah ia selalu menampilkn banyolan monoton di Indosiar (New Famili 100) maupun Trans7 (Bukan Empat Mata). Kalau Anda betah menonton Tukul yang saban hari hadir di kaca TV, maka Anda super sekali! Saya, jujur saja, penat melihat pria kaya asal Semarang ini mengumbar kelucuan yang hampir sama tiap hari, plus program hantu-hantuan Mister Tukul Jalan-jalan di TV yang sama!
Upaya TV melahirkan komedian-komedian baru bukannya tak dilakukan. Sejumlah stasiun belakangan ini membuat perlombaan lawak, dengan beragam judul acara. Tapi para juara di lomba-lomba tersebut bablas mirip angin. Apapun yang dihasilkan secara instan, hilangnya juga cepat.
Sebetulnya ada sejumlah acar komedi lucu dan tak membosankan, antara lain di Kompas TV. Suguhan yang ditampilakn secara beda, tidak slapstick, dan cerdik dengan menghadirkan sejumlah comic tersebut mampu mengocok perut seraya mengajak pemirsa berpikir cerdas.
Sayangnya, penonton TV negeri ini telanjur diracuni lawakan-lawakan dan banyolan-banyolan yang gebuk-gebukan stirofom atau semprot-semprotan tepung!
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H