Tabung televisi bergelimang pelawak, baik komedian asli maupun pelawak aspal; baik duo Cagur, Bajaj, Parto, hingga jebolan SOS macam Sule itu, maupun orang-orang yang mendadak jadi pelawak padahal belum pernah ditempa (atau setidaknya berniat jadi komedian) untuk menghibur orang lewat panggung lawak. Siapa saja? Jumlahnya sangat banyak. Ganti-gantilah chanel saban malam. Anda akan menemukan orang-orang yang berusaha melucu, terutama di acara-acara musik dangdut.
Banjir komedian itu melupakan sekelompok orang yang menghibur lewat lawakan. Kelompok-kelompok yang dulu bernama Bagito, Patrio, Srimulat, dan sebagainya. Srimulat tercerai berai. Memang masih ada Nunung yang dulu eksis di Opera van Java, dan kini sesekali di Lenong Rempong. Juga Tukul Arwana yang masih nongol di Bukan Empat Mata.
Sesekali ada pula Tarzan di sinetron komedi. Juga Ganis -- adik kandung mendiang Basuki -- yang muncul di Bioskop Indonesia Premiere Trans TV (terakhir, dua hari lalu Ganis memerankan seorang satpam di Bioskop Indonesia Premiere).
Namun, secara umum Srimulat sudah terkubur. Saking terkuburnya sampai-sampai pada April tahun 213 dirilis film layar lebar "Finding Srimulat". Sebuah upaya untuk membangkitkan -- atau setidaknya mengingatkan bahwa kita pernah punya grup lawak besar -- Srimulat.
Saking terkuburnya, penyebutan Nunung atau Tukul pun berangsur-angsur tanpa embel-embel "Srimulat". TV-TV kita seolah melupakan kebesaran Srimulat. Remaja-remaja seusia SMA pun asing mendengar kata "Srimulat". Mereka lebih tahu OVJ atau Pesbukers ketimbang Srimulat, sebuah grup lawak yang pernah mengocok perut negeri ini sejak 50-an.
Saya, dan mungkin sebagian dari Anda, bisa memahami situasi ini lantaran zaman telah berubah. Tak mungkin sesuatu bisa terus bertahan dan abadi. Lawakan pun mengikuti pola ini, tak mungkin dari generasi ke generasi masyarakat disuruh untuk terus menggemari Srimulat. Karena itu TV pun mengikuti selera yang terus berubah dan menganggap grup-grup lawak macam Srimulat, Empat Sekawan, bahkan Bagito dan Patrio itu kuno.
Maka desainer pun disuruh melawak. Padahal Ivan Gunawan itu sama sekali tidak lucu. Begitu pula Caca Handika yang sesungguhnya lebih hebat bila menciptakan lagu dangdut ketimbang melawak pun disuruh melucu, pun Saipul Jamil atau Billy Syahputra, atau Ayu Dewi, atau Raffi Ahmad.
Nyaris dilupakan, mendadak munculah kasus Tessy. Berbondong-bondong kemudian stasiun TV memburu gambar kronologi penangkapan pria bernama asli Kabul Basuki ini. Semua infotainmen dan berita petang mewawancarai Gogon, Tarzan, Polo, Kadir, dan seterusnya.
Tiba-tiba Srimulat jadi idola. Tarzan diundang ke studio tvOne untuk bincang-bincang khusus. Tarzan dan Kadir diminta menjadi bintang tamu "Obras-Obrolan Santai" Trans 7. Padahal, kemarin-kemarin siapa peduli Tarzan dan Kadir? Siapa pernah ingat kita punya pelawak macam Tessy maupun Djudjuk Djuariah? Nunung itu saya pikir malah mirip pulau Bali. Para turis lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia, sebagaimana orang Indonesia mengenal Nunung daripada Srimulat.
Tessy menjadi pahlawan Srimulat? Bisa jadi. Ada hikmah di balik musibah. Tarzan dan Kadir saat diundang menjadi tamu di Obras tanpa disadari membuka mata kita tentang lawakan yang benar-benar mengundang tawa tanpa harus berpantun atau menebar tepung.
Lawakan konvensional dan kadang verbal lewat sepatu yang melenting ke atas saat si pemakai hendak menumpangkan kaki, atau lewat Tarzan yang begitu pintar menguasai panggung komedi melalui ucapan-ucapannya yang satir dan keseharian, ternyata lebih lucu dan bikin rindu daripada 'pelawak-pelawak' di panggung-panggung musik tivi yang tidak berbakat melawak ...