Menonton Timnas Indonesia digunduli Filipina 0-4, petang tadi, saya merasa sangat kasihan pada para pemain. Anak-anak asuh Alfred Riedl itu menjadi korban ketidakbecusan pengurus PSSI mengelola sepakbola. Permainan acak-acakan tanpa arah dan tanpa tujuan yang diperagakan Zulkifli Syukur cs -- termasuk kala melawan Vietnam -- mencerminkan kinerja PSSI yang hanya pintar bersilat lidah tapi tak mampu membangun timnas hebat.
Dipermalukan oleh Filipina tadi merupakan akumulasi dari ketidakmampuan PSSI yang diketuai Djohar Arifin Husin menggelindingkan roda organisasi dan penyusunan program. Asal tahu saja, puncak dari pembibitan dan pembinaan pemain adalah tim nasional. Jika tim nasional sebuah negara acak adul seperti di Piala AFF ini maka sudah pasti ada yang salah dalam menyusun program.
Belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, PSSI tak pernah tobat. Dalam menggelar kompetisi, misalnya, Indonesia selalu tak pernah sinkron dengan jadwal FIFA. Di saat negara-negara lain sudah mengakhiri kompetisi dan bersiap menyongsong musim berikutnya, Indonesia masih sibuk melakukan pertandingan-pertandingan. Pertandingan tersebut bukan di divisi bawah, melainkan di kasta tertinggi: ISL. Padahal, materi pemain timnas untuk gelaran Pra Piala Dunia dicomot dari klub-klub ISL. Harap maklum jika akhirnya timnas pun memble di SEA Games, Piala Asia U-19, Asian Games.
Memble pula akhirnya ketika timnas mencoba mencuri piala di turnamen sekelas Asia Tenggara macam Piala AFF, agar menegakkan kembali gelar "Macan Asia". Bagaimana mungkin sebuah tim nasional dibentuk dalam waktu singkat, dengan sejumlah pemain yang kehadirannya ke TC bersistem kloter mirip ibadah haji seraya menunggu pemain-pemain Persib dan Persipura yang baru menuntaskan final ISL pada 7 November dan baru tiba di TC pada 13 November?
Kompetisi yang panjang dan melelahkan rupa-rupanya bukan formula ampuh untuk membanguin timnas. Pemain-pemain menjadi kikuk saat bertanding. Melawan negara Vietnam yang dulu bukan apa-apa, pemain-pemain kita diombang-ambingkan. Menghadapi Filipina yang tidak istimewa meski diperkuat pemain-pemain dari 10 negara pun mereka seperti baru belajar bermain sepakbola.
Lalu, apa kerja para pengurus PSSI di Senayan sana? Menghitung untung rugi dari sebuah kompetisi dalam negeri? Mengukur-ukur nilai sponsor dari siaran langsung televisi? Memeta-metakan klub-klub mana yang bakal dipromosikan? Ataukah membuat skala besar membangun persepakbolaan dengan konsep reformasi akbar?
Aha! Bagaimana bisa membuat formula hebat bila sebagian besar pengurusnya tak pernah bersentuhan dengan rumput lapangan dan bola tendang? Bagaimana bisa membuat timnas digdaya bila pengurus PSSI hanya bisa membuka dan menutup turnamen sepakbola usia dini tanpa pernah tidur di sela-sela pemain-pemain SSB?
Wahai para pengurus PSSI, mulailah berpikir bahwa tak pernah ada sebuah tim nasional yang hebat tanpa didukung kinerja pengelola organisasi sepakbola yang hanya duduk di ruangan ber-AC dan tidur nyaman dengan gemuknya tabungan. Sepakbola -- lebih-lebih di negeri dunia ketiga macam Indonesia -- butuh sentuhan membumi dan merakyat. Ketua Umum PSSI wajib sering turun ke bawah agar tahu bahwa di tingkat paling dasar masih banyak suap menyuap dalam berbagai seleksi berkedok timnas. Masih banyak pelatih SSB hidupnmya di bawah sejahtera. Masih banyak orangtua pemain -- bahkan di tingkat PSSI Pengcab -- yang menyogok pelatih agar anaknya dimasukkan ke tim inti. Belum lagi kongkalikong pengurus tim dengan wasit untuk mengatur skor. Jadi, sepakbola gajah yang terjadi di Sleman itu sesungguhnya gambaran dari persepakbolaan tingkat bawah yang seolah-olah mengagetkan pengurus PSSI, padahal sudah bertahun-tahun praktik semacam itu ada!
Pak Arifin, di sisa setahun kepengurusan Anda hingga 2015 nanti, sebaiknya Anda mundur saja. Biarlah PSSI dipimpin oleh orang-orang muda yang berintegritas tinggi, tegas, punya visi luas, dan mantan pemain sepakbola. Kalaupun pada 2015 Anda berniat mencalonkan diri lagi, sebaiknya diurungkan saja. Anda sudah banyak dihantam kegagalan sejak duduk di kursi Ketua Umum PSSI.
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H