Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pak Anies, Tontonlah Sinetron!

10 Januari 2015   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:25 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari YouTube

[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Ilustrasi dari YouTube"][/caption] Bu Mika -- nama saya samarkan -- tampak naik pitam. Di kusen pintu rumah Pak Bagas -- ini juga bukan nama sebenarnya -- dia menuding-nuding tuan rumah sebagai warga yang tak becus membela tetangga. Loh, ini ada apa? Ini kisahnya. Sehari sebelumnya, Bu Mika dipanggil guru BK sekolah anaknya. Anak Bu Mika -- kita kasih aja nama Bunga -- dipergoki sedang berpacaran di sudut sebuah kantor lurah dekat SMK dimana Bunga menuntut ilmu. Bukan pacaran ala kadarnya, tapi mereka berciuman dan berpeluk-pelukan. Ada semak kecil yang sedikit menutup aktivitas mesum pada jam sekolah tersebut, tetapi tidak cukup untuk membungkus rapat dua sejoli berpakaian sekolah yang sedang berpagutan itu dari tatapan telanjang warga yang melintas. Nah, mengapa Bu Mika kesal pada Pak Bagas. Pasalnya, Pak Bagas adalah salah satu guru di SMK itu. Bu Mika menaruh harapan pada Pak Bagas agar membela Bunga, tapi Pak Bagas memilih setuju keputusan sekolah menskorsing siswi kelas 2 ini, meski Bunga adalah tetangganya! Bu Mika dan Pak Bagas kebetulan tetangga saya. Peristiwa itu menyedot perhatian seluruh penghuni gang, hingga akhirnya suatu malam Pak Bagas dengan sedih mengatakan pada saya bahwa ia teguh dengan pendiriannya meski dibenci keluarga Bu Mika, seraya menyelipkan ucapan bahwa perbuatan menyimpang anak-anak sekolah (SMP dan SMA) disumbang oleh tabiat buruk sajian televisi, utamanya sinetron. Sinetron Abu-abu, Sekolah Abu-abu Sudah jamak, hampir 100 persen sinetron di TV kita dewasa ini tidak mendidik. Mungkin ada sinetron religi yang bisa diserap manfaatnya, namun sisanya adalah sampah. Dalam konteks ciuman Bunga di sudut kantor kelurahan yang memantik perkara di sekolahnya, lihatlah betapa sinetron berseting sekolahan adalah biang keladinya. Digambarkan dalam film-film tivi itu para murid di sekolah sangat tidak menjunjung tinggi institusi pendidikan ini. Para murid dilukiskan seenak perutnya membiarkan baju tak dimasukkan celana, berseliweran di teras dan kantin seraya berceloteh tentang kejahatan, iri, dengki, sumpah serapah, dan perilaku manusia dewasa macam pacaran dan taksir-taksiran, dengan bedak tebal, bulu mata palsu, dan gincu yang menyala. Tak pernah ada dialog yang menyiratkan bahwa mereka menggemari matematika atau Bahasa Indonesia. Di sekolah lain, ada siswa berkelahi di gudang. Mereka tampak sangat jagoan, lebih-lebih setelah mereka berganti wujud menjadi macan. Seperti kita ini hidup di zaman Majapahit, anak-anak sekolah itu bak pendekar yang meminjam area sekolah sebagai sarana menyamar. Baju abu-abu cuma tempelan belaka, sebab sejatinya mereka itu ninja dan shaolin yang turun gunung untuk pecicilan di kawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah. Di sekolah berbeda, sekumpulan murid laki-laki dan perempuan bersekolah menunggang mobil mewah. Loh, memang tidak boleh? Boleh, hanya saja murid sekolah yang borju itu ternyata vampire, mahkluk pengisap darah di Eropa Timur yang lahir awal abad 18. Bayangkan saja, film berseting sebuah sekolah dengan tokoh-tokoh ayu dan ganteng itu menguarkan bau darah. Sebuah karya keblinger, dan memaksakan adaptasi film Twilight Saga yang kentara sekali konyolnya, tetapi, herannya, justru digemari ... Nah, pasal digemari inilah yang menuntun sebagian remaja -- usia sekolah -- meniru-niru. Kegantengan yang sangat dipuja-puja terhadap bintang-bintangnya, ditopang kisah-kisah di luar syuting yang terus menerus diekspos oleh infotainmen mengenai cinta lokasi, menciptakan manusia-manusia hedonis macam Bunga. Karena Bunga bukan berangkat dari keluarga kaya yang bisa berciuman di kabin mobil atau di kamar apartemen, maka semak-semak kantor kelurahan pun jadi pilihan. Budaya plagiat masih menelikung warga negeri ini, tak terkecuali para remajanya. Layar televisi lebih mahir menjejalkan kesan mendalam ketimbang petuah petitih guru BK dan orangtua. Para siswi sekolah-sekolah di negara kita dalam bahaya. Maka, tak ada kelirunya Menteri Anies Baswedan sesekali nonton sinetron, sebelum semua murid mendadak menjadi drakula yang berpagutan dengan drakula lain di sudut kantor kelurahan! -Arief Firhanusa-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun