Akhir-akhir ini, tagar "All Eyes on Papua" ramai jadi sorotan publik yang digaungkan di media sosial. Tagar ini ditujukan sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat adat Awyu dan Moi yang menolak hutan adat untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Pasalnya, PT. Indo Asiana Lestari sudah mengantongi izin kelayakan lingkungan hidup dari Pemerintah Provinsi Papua untuk membuka lahan perkebunan sawit di atas hutan adat di Boven Digul Papua yang luasnya mencapai 36 ribu hektar atau dapat diperkirakan luasnya itu lebih dari separuh luas Jakarta tersebut.
Aksi ini bukan semata hanya tentang masyarakat Papua yang kehilangan hutan alamnya, melainkan dapat berdampak secara global. Karena dengan adanya proyek perkebunan sawit ini, dapat menghasilkan emisi sebanyak 25 juta ton CO2 yang setara dengan menyumbang 5% dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Terlebih tingkat deforestasi di wilayah Papua sudah mencapai angka 4.791,1 Ha/Th berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2021-2022.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah ekspansi lahan perkebunan dengan membabat habis hutan ini bukan baru-baru ini saja terjadi, melainkan sebelumnya juga sudah ada proyek Tanah Merah dari PT MJP dan PT KCP bersama dengan lima perusahaan lainnya (PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT TSM, DAN PT NUM), namun masyarakat Papua berhasil menyelamatkan hutan seluas 65.415 Ha dari konsesi tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.Â
Namun, berbeda halnya dengan kasus PT IAL ini, karena sudah mengantongi izin lingkungan hidup dari pemerintah Provinsi, sehingga gugatan masyarakat adat ini pun kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Sehingga masyarakat berinisiatif untuk mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dengan harapan dapat menyelamatkan dan menjaga hutan Papua.
Berbagai upaya telah diusahakan oleh masyarakat adat Papua untuk menyelamatkan rimba-rimba tersebut, meski tangan-tangan rakus terus menggerus dan mengeksploitasinya tanpa pernah memikirkan dampak global yang ditimbulkan. Semua semata hanya untuk meraih keuntungan bernilai ekonomi yang tersimpan pada hutan-hutan tersebut. Kayu-kayu dari ujung Timur ini bak "emas coklat" yang memukau para pencari keuntungan ini. Padahal, jika pengendalian deforestasi ini tidak bisa ditekan, maka tentu Tanah Air ini akan kehilangan sepertiga dari total area tutupan hutan yang ada dan berakibat pada semakin menurunnya kemampuan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Akankah harus menanggung penyesalan dulu, baru kemudian muncul yang bernama kesadaran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H