Kritik Perpajakan: Diskursus Subjek vs Objek Pajak
Perpajakan, sebagai salah satu instrumen penting dalam perekonomian dan pembangunan negara, sering kali menghadapi berbagai kritik yang berkaitan dengan ketidakadilan dan efektivitas sistem yang ada. Dalam diskursus ini, perdebatan antara subjek dan objek pajak menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks pengelolaan pajak yang adil dan transparan.
- Sejak tahun 2010, terdapat sejumlah kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Kasus-kasus ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara subjek pajak, yakni individu atau entitas yang wajib membayar pajak, dan objek pajak, yaitu penerimaan atau harta yang dikenakan pajak. Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan tujuan fundamental dari perpajakan, yaitu perluasan hak atas properti dan kebebasan individu, yang diungkapkan dalam pemikiran filsuf John Locke tentang "Life, Property, Liberty".
- Pemikiran utilitarian yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill dan Jeremy Bentham menekankan bahwa kebijakan pajak seharusnya diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, kepentingan bersama menjadi acuan etis dalam merumuskan sistem perpajakan yang efektif dan adil.
- Konsep hak dan kewajiban dalam perpajakan dapat dianalisis melalui istilah-istilah seperti "Res Privata" dan "oikos_nomos", yang menunjukkan hubungan antara kewajiban pajak dengan struktur keuangan yang lebih luas. Pentingnya memahami aspek-aspek ini mendasari analisis tentang penggunaan aset dan laporan keuangan yang berhubungan dengan pajak.
- Dalam pandangan kritis, banyak regulasi perpajakan yang dianggap tidak memenuhi tujuan keadilan sosial. Critique menyatakan bahwa hampir semua aturan pajak tampak tidak efektif, sehingga menghasilkan kebijakan yang disebut "omong kosong" dan tidak menjamin keadilan yang merata.
- Perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) antara berbagai negara, seperti yang terlihat di Panama dan Pandora, sering kali tidak berjalan efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketimpangan dalam penerimaan pajak dan perlunya reformasi untuk mengatasi tantangan ini. Data menunjukkan bahwa tax ratio di Indonesia cenderung menurun, dengan kadar idealnya seharusnya 15%, namun realitas menunjukkan penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
- Kritik yang mendalam muncul mengenai alokasi pengeluaran pajak yang tidak selalu tepat. Penelitian menunjukkan adanya ketidakadilan dalam belanja untuk perlindungan sosial yang jauh dari kebutuhan masyarakat, terutama saat anggaran untuk subsidi bahan bakar mencapai porsi yang lebih besar daripada anggaran bagi perlindungan sosial.
- Jrgen Habermas, dalam teorinya tentang tindakan komunikatif, menekankan pentingnya mengedepankan kesepahaman dalam kewajiban perpajakan. Pajak tidak hanya dilihat sebagai instrumen pemaksaan, tetapi juga sebagai proses komunikasi yang melibatkan pemahaman dan kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah.
- Proses pembentukan peraturan perpajakan harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat, yang mengedepankan aspek demokrasi deliberatif. Keterlibatan ini memungkinkan munculnya konsensus dan aturan yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, sehingga meningkatkan kepatuhan pajak.
- Ruang publik berfungsi sebagai platform bagi warga negara untuk mengemukakan pendapat dan berdiskusi tentang kebijakan perpajakan. Hal ini penting untuk menciptakan masyarakat yang kritis, rasional, dan adil dalam menanggapi kebijakan fiskal yang ada.
- Dalam kerangka etika diskursus yang dikembangkan oleh Habermas, setiap individu harus memiliki hak untuk terlibat dalam diskursus pajak. Keterbukaan, kejujuran, dan partisipasi aktif menjadi syarat untuk memastikan
Pemikiran Hannah Arendt mengenai kondisi manusia (The Human Condition) menawarkan perspektif yang berharga dalam memahami diskursus perpajakan, terutama pada pajak internasional dan bagaimana hal ini berkaitan dengan hubungan sosial serta tanggung jawab publik. Arendt, melalui bukunya, menekankan bahwa tindakan manusia berlangsung dalam konteks ruang publik, di mana individu berinteraksi, berdiskusi, dan berkolaborasi untuk menciptakan kehidupan bersama yang bermakna. Dalam kerangka ini, pajak bukan hanya sekadar kewajiban finansial, tetapi juga merupakan ekspresi dari partisipasi aktif individu dalam masyarakat. Pajak seharusnya dilihat sebagai kontribusi yang mendukung kesejahteraan kolektif dan pembangunan sosial, yang mencerminkan rasa tanggung jawab di antara anggota masyarakat.
Dalam konteks pajak internasional, Arendt memberikan kerangka pemikiran yang relevan ketika membahas fenomena penghindaran pajak dan ketidakadilan global. Banyak negara, khususnya negara maju, mampu memanfaatkan loopholes dalam peraturan perpajakan internasional, yang sering kali mengakibatkan transfer kekayaan dari negara-negara berkembang ke negara-negara yang lebih kaya. Praktik tersebut menciptakan ketimpangan yang signifikan dan merugikan perekonomian negara berkembang, di mana pajak seharusnya berfungsi sebagai alat untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi. Ketika individu atau korporasi mengambil jalan pintas untuk menghindari kewajiban pajak, mereka tidak hanya merugikan negara yang seharusnya mendapatkan pendapatan tersebut tetapi juga mengancam solidaritas sosial dan prinsip keadilan yang menjadi dasar hubungan antara individu dan komunitas.
Arendt juga menyoroti pentingnya ruang publik dalam membentuk opini dan konsensus. Diskusi mengenai pajak internasional harus melibatkan semua pihak, dari individu hingga pemerintah dan organisasi internasional, sehingga setiap suara dapat didengar dan diakomodasi. Pajak seharusnya menjadi masalah kolektif yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Diskursus yang inklusif ini penting untuk menumbuhkan pengertian bahwa pajak bukanlah beban, tetapi investasi dalam masa depan yang lebih baik. Dalam pandangan Arendt, tindakan dan partisipasi dalam ruang publik mengarah kepada pembentukan identitas bersama yang lebih kuat dan memungkinkan individu untuk merasakan keterlibatan dalam proses kebijakan publik.
Selain itu, Arendt menegaskan bahwa dalam proses pengambilan keputusan publik, terdapat kebutuhan untuk menghormati perbedaan pandangan dan memastikan bahwa tidak ada pihak yang terpinggirkan. Dalam konteks pajak internasional, hal ini menjadi sangat penting, mengingat efek dari kebijakan perpajakan yang tidak adil dapat memperburuk ketidaksetaraan dan menciptakan rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi yang luas dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak menjadi krusial untuk menjamin bahwa pajak internasional ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan global dan keadilan sosial.
Lebih lanjut, Arendt juga menggarisbawahi pentingnya tindakan komunikatif, di mana individu berupaya mencapai kesepahaman bersama. Pajak internasional seharusnya menjadi hasil dari dialog yang berkelanjutan antara berbagai pemangku kepentingan yang berusaha mencapai tujuan bersama untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi oleh sistem perpajakan global bisa dilihat sebagai masalah dialog yang tidak pernah selesai. Kurangnya komunikasi yang efektif sering kali berujung pada kesalahpahaman dan kebijakan yang tidak memadai.
Dalam kesimpulan, diskursus tentang pajak internasional yang terinspirasi oleh pemikiran Hannah Arendt menyiratkan bahwa pajak harus dilihat sebagai instrumen untuk membangun solidaritas, keadilan, dan partisipasi dalam masyarakat. Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan penghindaran pajak, penting bagi setiap individu dan negara untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan transparansi. Hal ini mengharuskan adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan pajak, agar setiap langkah yang diambil dapat mencerminkan kebutuhan dan harapan bersama. Dengan demikian, pajak seharusnya tidak hanya menjadi beban yang harus dipenuhi, tetapi juga sebagai pilar dalam pembangunan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, yang mencerminkan kondisi manusia dan keinginan untuk hidup dalam komunitas yang harmonis.
Sumber: PPT Prof Apollo. Pajak Internasional (2024).