Mohon tunggu...
Firdha Athifah Uszardi
Firdha Athifah Uszardi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Magister Akuntansi – NIM 55523110051 – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Mercu Buana – Pajak Internasional – Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

K6 - Diskursus Kritik Mutual Agreement Procedure Tax Treaty

22 Oktober 2024   14:48 Diperbarui: 22 Oktober 2024   15:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus kritik terhadap peraturan SE DJP mengenai MAP tax treaty mencakup beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan:

  1. Variasi dalam Interpretasi dan Penerapan: Terdapat variasi dalam cara negara-negara menginterpretasikan dan menerapkan ketentuan MAP. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak yang ingin mengajukan permohonan MAP. Misalnya, satu negara mungkin memiliki pendekatan yang lebih ketat dalam menilai kelayakan permohonan MAP dibandingkan dengan negara lain. Ketidakpastian ini dapat menghambat penggunaan MAP oleh wajib pajak.

  2. Transparansi dan Komunikasi: Keterbukaan dalam proses komunikasi antara otoritas pajak dan wajib pajak sangat penting. Kurangnya transparansi dapat menghambat proses penyelesaian sengketa. Wajib pajak perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai prosedur, batas waktu, dan dokumen yang diperlukan untuk mengajukan permohonan MAP. Jika informasi ini tidak tersedia atau sulit diakses, wajib pajak mungkin merasa ragu untuk menggunakan MAP.

  3. Hambatan dalam Penyelesaian Sengketa: Terdapat beberapa hambatan yang dapat memperlambat penyelesaian sengketa melalui MAP, seperti kurangnya kerjasama antara negara-negara yang terlibat. Dalam beberapa kasus, otoritas pajak dari kedua negara mungkin tidak memiliki saluran komunikasi yang efektif, yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam proses negosiasi. Selain itu, perbedaan dalam kebijakan perpajakan dan praktik administrasi juga dapat menjadi penghalang.

  4. Batas Waktu dan Prosedur yang Jelas: Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 mengatur tata cara pelaksanaan MAP, termasuk batas waktu dan prosedur yang harus diikuti oleh negara mitra dan subjek pajak dalam negeri. Namun, seringkali batas waktu yang ditetapkan tidak cukup untuk menyelesaikan sengketa yang kompleks. Dalam beberapa kasus, proses negosiasi dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, yang dapat menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak.

  5. Kualitas Sumber Daya Manusia: Kualitas sumber daya manusia di otoritas pajak juga berpengaruh terhadap efektivitas MAP. Jika petugas pajak tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang perjanjian pajak internasional dan prosedur MAP, hal ini dapat menghambat proses penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi petugas pajak sangat penting untuk meningkatkan efektivitas MAP.

  6. Penggunaan Teknologi: Pemanfaatan teknologi dalam proses MAP dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi. Misalnya, penggunaan platform digital untuk pengajuan permohonan MAP dan komunikasi antara otoritas pajak dapat mempercepat proses dan mengurangi kemungkinan kesalahan administratif. Negara-negara yang telah mengadopsi teknologi dalam proses perpajakan mereka cenderung memiliki sistem yang lebih efisien dan responsif.

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alat yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa pajak internasional. Dengan memberikan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pajak, MAP tidak hanya melindungi hak wajib pajak, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas dan kepastian dalam sistem perpajakan internasional.

Dalam konteks globalisasi yang semakin meningkat, penting bagi negara-negara untuk terus memperbaiki dan mengembangkan prosedur MAP agar lebih efektif dan efisien. Hal ini mencakup peningkatan transparansi, komunikasi yang lebih baik antara otoritas pajak, serta pelatihan bagi petugas pajak untuk memahami dan menerapkan ketentuan MAP dengan baik.

Dengan demikian, MAP tidak hanya berfungsi sebagai alat penyelesaian sengketa, tetapi juga sebagai instrumen untuk mendorong kerjasama internasional dalam bidang perpajakan. Negara-negara yang mampu mengelola MAP dengan baik akan mendapatkan manfaat dalam bentuk peningkatan kepatuhan pajak, menarik investasi asing, dan menjaga hubungan baik dengan negara mitra. 

Mutual Agreement Procedure (MAP) memiliki peran yang sangat penting dalam sistem perpajakan internasional. Dengan memberikan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pajak, MAP tidak hanya melindungi hak wajib pajak, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas dan kepastian dalam sistem perpajakan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun