Mohon tunggu...
Firdha Athifah Uszardi
Firdha Athifah Uszardi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Magister Akuntansi – NIM 55523110051 – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Mercu Buana – Pajak Internasional – Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KUIS 1 - Pajak Internasional - Prof Apollo

12 September 2024   22:47 Diperbarui: 12 September 2024   23:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

1. Dalam perspektif Islam, hubungan fiqih muamalah dengan pajak dan keadilan dapat dilihat melalui prinsip-prinsip seperti keadilan, tanggung jawab sosial, dan pemerataan kesejahteraan. Pajak dianggap sebagai salah satu instrumen fiqih muamalah untuk mengelola keuangan masyarakat secara adil. Prinsip keadilan dalam fiqih muamalah menekankan bahwa pajak harus didasarkan pada kemampuan individu atau entitas untuk membayar, tanpa membebani yang lemah atau memberi keistimewaan pada yang kuat. Pajak yang adil juga bertujuan untuk redistribusi kekayaan demi kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, program tax amnesty yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara sering dipandang kontroversial karena dinilai mendorong perilaku tidak patuh, di mana orang atau perusahaan cenderung menunda pembayaran pajak dengan harapan akan ada amnesti di masa depan. Ini dapat menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak yang taat dan merusak integritas sistem perpajakan, yang pada akhirnya bertentangan dengan prinsip keadilan dalam fiqih muamalah.

2. Dalam perjalanan spiritual, kita mengenal dua tingkatan atau maqam: asbab dan tajrid. Maqam asbab menggambarkan kondisi manusia yang masih sangat bergantung pada duniawi. Dalam konteks ini, membayar pajak bisa dilihat sebagai salah satu kewajiban duniawi yang harus kita lakukan untuk berkontribusi pada masyarakat.

Sebaliknya, maqam tajrid menggambarkan kondisi manusia yang lebih fokus pada hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, membayar pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan bentuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas. Mereka memahami bahwa pajak adalah bagian dari tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan.

Jika kita melihat fenomena tax amnesty melalui lensa tasawuf, kita bisa menarik beberapa kesimpulan. Dalam maqam asbab, pemerintah mungkin akan lebih menekankan aspek duniawi dari pajak, seperti pentingnya pajak untuk pembangunan. Namun, dalam maqam tajrid, kita diajak untuk melihat pajak dari sudut pandang yang lebih dalam, yaitu sebagai bentuk ibadah dan keadilan.

Orang yang berada di maqam tajrid cenderung tidak akan memanfaatkan celah-celah hukum seperti tax amnesty. Mereka akan lebih memilih untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena mereka yakin bahwa kejujuran dan tanggung jawab adalah nilai-nilai yang lebih tinggi daripada keuntungan materi semata. Ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam Islam, yang mengajarkan kita untuk berlaku adil dalam segala hal, termasuk dalam urusan keuangan.

3. Perkembangan pesat teknologi digital dan semakin terbukanya pasar global telah memaksa banyak negara, termasuk Indonesia, untuk memutar otak dalam mengatur pajak. Salah satu tantangan besar adalah bagaimana memastikan perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi secara digital membayar pajak yang adil di negara tempat mereka meraup keuntungan. Inilah yang menjadi fokus perhatian dalam proyek BEPS yang digagas oleh OECD. Di Indonesia sendiri, pemerintah juga telah mulai menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk transaksi digital.

Ketika kita melihat bagaimana negara mengatur pajak dalam konteks ekonomi digital, kita bisa membandingkan dua pendekatan utama: model ekonomi konvensional dan model ekonomi syariah. Model konvensional lebih fokus pada aspek teknis, seperti bagaimana merancang sistem pajak yang efisien dan memaksimalkan pendapatan negara. Sementara itu, model ekonomi syariah memiliki dimensi yang lebih luas, tidak hanya soal angka-angka, tetapi juga soal nilai-nilai keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan ekonomi syariah, pajak bukan sekadar alat untuk mengumpulkan uang, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai moral dan spiritual.

Jadi, dalam konteks pajak untuk ekonomi digital, kita melihat dua perspektif yang berbeda. Model konvensional menekankan pentingnya menghindari penghindaran pajak dan memastikan semua pihak membayar kontribusi yang sama. Sedangkan model ekonomi syariah menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, serta menghindari praktik-praktik yang merugikan pihak yang lebih lemah. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mengatur pajak secara adil, namun cara pandang dan penekanannya sangat berbeda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun