pagi merambah di timur haluan manakala mata baru melek menanggalkan mimpi semalam. matahari berkejaran dengan derap laju kendaraan; seperti hendak bergegas dengan kecepatan konstanta waktu. pada Sabtu inilah semua berawal, menawarkan jerejak perjalanan baru melukis berlembar-lembar usiaku.
kala terngiang hari Sabtu, maka yang terekam adalah akhir pekan yang menyenangkan. apalagi dalam minggu ini terlalu panjang hari libur yang merayap. bayangkan, semenjak Rabu lalu, banyak orang sudah bergegas menuju Puncak-Bogor, Kutha-Bali, Singapore, jernih-panorama negeri bahkan berjelajah eksotika Benua Biru yang menghanyutkan hati siapa saja. semua rencana pun sudah diatur jauh-jauh hari (bahkan sebelum libur panjang ini tiba). tapi biarlah, toh memang seperti itu penanggalan yang sudah dibuat; mau bagaimana lagi?!
selaput mataku kian melebar menyambut hari itu. kepenatan yang sudah kutinggalkan semalam menjelma gemuruh semangat bendentum hebat. usai berbenah diri, yang kulakukan adalah berkunjung ke kedai kopi langgananku; di sebelah kontrakanku, tepat berhadapan dengan kampus yang paling masyhur di kota kecil Jombang. menyeruput segelas kopi diiringi likat kretek sungguh mengharumkan batin dan pikiranku memulai hari, sembari membaca buku yang belum kutuntaskan semalam. kulanjutkan pengembaraanku, kunaiki angkutan kota untuk menuju Pasar Peterongan. itu destinasi keduaku. aku ingin mengitari pasar tradisional tersebut sebab kupikir lebih banyak ketakjuban yang kuperoleh tinimbang pasar-pasar lain di daerah Jombang. hmmm, kesan absolut yang kudapatkan; riuh memetak bak segerombol pengelana mengkhidmatkan seluruh hidupnya demi sebuah rupiah. aku menafasi itu semua, merebahkan pendar keduniawian yang terlampau diagung-agungkan semisal mahasiswa sepertiku (juga orang sesamaku). kericuhan terebut membangunkan alam bawah sadarku: inilah potret "seret" pasar tradisional di negeri ini (aku sengaja tak menyebut Indonesia). keterharuan suasananya membuyarkan keangkuhan mimpi anak manusia yang menahbiskan dirinya sebagai "khalifah" di bumi. aku hanya terbeban-menebal.
keterhenyakan itu segera tersilapkan manakala kutemukan penjual "gethuk" yang sangat langka itu. perempuan 70 tahunan yang menghapus itu semua. senyum khasnya, keramahan (dan sedikit cerewet: perlu digarisbawahi, cerewet dalam arti baik!), dan kehangatan matanya meneduhkan siapa saja yang membeli gethuk buatannya. ahai, masih ada jam segini (padahal hampir pukul sepuluh pagi). keranuman makanan yang terbuat dari singkong dan ditaburi parutan kelapa muda tersebut membikin kenikmatan tersendiri bagiku. aku salut, masih ada yang peduli akan warisan kuliner bangsa tersebut dan menghayatinya sebagai bagian dari diri dan kehidupannya sehingga senantiasa terjaga resep dan citarasa yang menggugah setiap pembeli. aku salut!
terimakasih! dan tak sampai di situ. perjalanan berikutnya adalah menjejal pemukiman padat penduduk di kota santri tersebut. aku belum puas ketika belum merasakan perbandingan kehidupan jelata di pasar tadi dan kehidupan urban-modern di pemukiman yang kutuju ini. becak yang kutunggangi seakan mempercepat niatanku menuju tujuanku. kali ini adalah Perum Jombang. ya, kehidupan yang cepat dan dikelilingi pertokoan dan ruko tersebut membuat masyarakatnya bak dikejar kecepatan waktu. hampir seluruh warganya adalah pegawai negeri (pemerintah, guru, dan lainnya), serta pelajar/mahasiswa yang bersekolah hampir di seluruh pelosok Jombang. mengenai hal ini, aku bisa merasakan kedahsyatan julang-bangunan yang tegak-berdiri dan kekokohan tembok rumah mereka yang memisahkan klan satu dengan yang lain, sosial satu dengan yang lain, sehingga tercipta semacam strata yang mengukuhkan perbedaan tersebut. ironisnya, walaupun mereka bertetangga, mereka tidak saling mengenal!
wuih, sudahlah. puas berkeliling perumahan elit tersebut, kuterbangkan raga ini ke sebuah pondok alit, mungkin lebih tepatnya warung nasi. sederhana, namun yang membuatku terlena adalah keunikan yang menyambar jiwa ini. teman-teman kuliahku banyak berujar bahwa warung ini "maknyus-maknyus" makanannya.dan yang lebih hebat lagi adalah tidak hanya menjual satu ragam makanan 'ndeso' namun beraneka-rupa dan sedap-sedap pula. ini yang membuatku penasaran dan ingin mencicipinya (mumpung lagi didaerah situ). yang kupesan adalah nasi "ampok" alias nasi jagung yang ditemani serumpun sambal teri, rempeyek kacang tanah, lalapandaun singkong muda, serta segelas es jahe. sungguh makan siang yang menyenangkan (tentu saja mengenyangkan) sebab takkan kujumpai tempat seperti ini di tempat-tempat lain. wah, mengesankan, perjalanan nan meletihkan terbayar sudah di pemberhentian perut ini. akan kubagikan cerita ini ke teman-temanku lusa waktu masuk kuliah.
habis itu, aku pergi ke tempat pemancingan. lumayan jauh dari daerah kota. tepatnya di daerah Ploso. dan aku pun harus naik bus kalau ingin cepat sampai. kenapa memancing? menurut buku yang kubaca, memancing dapat menjernihkan batin, menenangkan pikiran, mengudarkan 'gala kepenatan, menyegarkan persendian, dan melarungkan semua permasalahan (aku lupa buku apa itu). cukup membayar 35.000 maka puas-puaskanlah larut dalam memancing. sebenarnya, esensi dalam memancing bukanlah mencari ikan (itu nomor sekian!), dalam bagaimana konsentrasi kita diuji, kesabaran kita dipertaruhkan, serta kedisiplinan kita ditata. untuk itulah, memancing mungkin sangat pas bagi orang yang gampang marah, tidak sabaran, bahkan anak/orang yang "mbanggel" alias sulit diatur. aku menikamti memancing sampai hampir maghrib (itu pun hanya ikan kakap sebesar telapak tangan yang kudapat!). akhirnya kuminta pengelola pemancingan tersebut membakarkan ikan tersebut (toh buat apa pula dibawa pulang?).
keteduhan senja menjelang malam itu membikin diriku sadar: bahwa sebagai manusia (apapun wujud dan keadaannya) haruslah bersyukur atas kehidupan yang dijalani. seberapa besar nikmat dan karunia yang kita terima, itulah hak kita. seberapa besar cobaan mendera, itulah milik kita. dengan selalu berjuang untuk mengejar mimpi dan cita, serta bedoa dan bertawakal, maka hasil yang diperoleh pun akan nyata-terberkahi oleh Sang Pemilik Nyawa ini. pada akhirnya, perjalanan singkat ini kututup dengan dua batang kretek yang tersisa selama perjalanan tadi. sendiri.
(04-06-2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H