Berangkat dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dengan pesawat Lion Air menuju Kota Ambon tanggal 11 September 2011 dengan misi sebuah penelitian e-government. Dalam perjalanan, terkenan beberapa peristiwa yang terjadi di tanggal yang sama 10 tahun lalu saat WTC di amrik roboh bersamaan dengan dibajaknya beberapa pesawat. Sungguh banyak kejadian yang tragis yang bisa kita hubungkan dengan bulan September. Lalu bagaimana dengan lagu 'september ceria' dari Laluna?
Lagu itu ternyata tidak berlaku di tanah Pattimura, tiba sekitar pukul 15 WIT di Bandara Pattimura saya disambut dengan puluhan aparat keamanan bersenjata lengkap. Dalam hati pun bertanya, ada apa ya? Berniat mengendarai kendaraan umum (DAMRI) urung dilakukan karena beberapa teman saya tidak yakin keamanannya. Tersiar kabar bahwa Kota Ambon kembali rusuh dan celakanya kerusuhan sudah menyebar kemana-mana. Akhirnya kami mencarter sebuah mobil Avanza yang dikemudi oleh seorang Abdullah menuju hotel di Kota Ambon. Dia menjanjikan jalur yang aman dan jaminan agar kami bisa sampai di tempat tujuan.
Jalur darat yang selama ini dilalui Abdul tidak aman pada hari itu, ia memilih untuk melewati jalur laut dengan menumpang sebuah kapal penyemberangan ke daratan sebelah. Kota Ambon dan bandara Pattimura merupakan 2 tempat yang berada pada daratan mirip huruf U. Kota Ambon berada pada ujung U sebelah kiri sedangkan bandara pada ujung U sisi kanan sehingga kapal peyeberangan bisa digunakan.
Dalam perjalanan Abdul sibuk mengontek temannya untuk mengetahui kondisi kota saat itu, dan seluruh informasi yang diterima melarang kami untuk masuk ke kota karena kerusuhan semakin parah.
Kami akhirnya tertahan di kampung Tanah Merah, daerah ini dikenal aman untuk orang muslim (mungkin karena warganya mayoritas muslim). Daerah ini berada di dataran tinggi sehingga kami dapat melihat gumpalan asap yang berasal dari lokasi kerusuhan. Informasi pun kian cepat beredar, setiap orang sibuk dengan HP masing-masing berkomunikasi dengan rekannya. Suasana pun kian mencekam saat beberapa mobil TNI dan Polri melintas dengan membawa pasukan bersenjata lengkap. Warga berkumpul dan tak terasa jalan-jalan sudah dipenuhi oleh warga sekitar dengan wajah cemas, lalu lintas lumpuh total karena jalan-jalan menuju pusat kota sudah diblokir oleh warga.
Beduk magrib pun terdengar, sejenak saya dan teman-teman menenangkan diri di masjid sekitar seraya berharap agar suasana tidak semakin kacau. Hampir pukul 20.00 WIT kami sepakat dengan sang supir untuk melanjutkan perjalanan ke arah Mardika, lokasi hotel yang dituju. Namun karena kondisi yang tidak menentu, kami tirun di sekitar pasar Mardika dan harus melanjutkan perjalanan dengan ojek ke hotel. Sampai di hotel barulah saya bisa bernafas lega karena masih tersisa 1 kamar untuk kami bertiga.
Beberapa saat kemudian saya keluar mencari informasi tentang kejadian, duduk di depan hotel bersama beberapa warga saya menanyakan tentang kejadian di kota itu. Lokasi kerusuhan berada di daerah Mangga Dua dan Trikora, hanya berjarak 1 KM dari tempat saya menginap. pemicunya adalah meninggalnya seorang tukang ojek yang menurut warga dibunuh oleh warga, infor kian memanas karena dikaitkan dengan agama.... ya rusuhlah.
Sambil duduk di depan hotel, saya melihat beberapa kelompok warga melintas dengan sepeda motor sambil membawa parang, samurai, bom molotof dan sebagainya. Kondisi ini tambah menakutkan tatkala seorang warga datang dengan informasi bahwa beberapa rumah telah dibakar warga. Beberapa saat kemudian beberapa mobil patroli baik dari TNI maupun Polri mulai berlalu membuat perasaan sedikit tenang hingga larut malam akhirnya saya pun memutuskan untuk beristirahat.
Keesokan harinya suasana tetap mencekam, aroma kerusuhan tetap ada seiring dengan sikap warga Ambon yang masih was-was dan aksi pemblokiran jalan. Hujan turun dengan lebat, suasana itu sedikit mendinginkan karena konsentrasi massa tidak terlihat lagi. Yang ada adalah warga sibuk melihat kondisi kota dari media massa tv atau koran, aksi pembakaran masih terdengar walaupun tidak separah hari sebelumnya.
Hari Selasa, kami memutuskan untuk memulai aktivitas. Kantor Gubernur Maluku menjadi tujuan awal kami, kondisi kantor sangat sepi dan PNS yang biasanya sibuk dengan aktivitasnya hari itu urung masuk kantor karena kondisi keamanan yang tidak menjamin. Hanya ada beberapa PNS dan petugas keamanan yang berjaga-jaga, mereka menyarangkan agar kami datang pada hari Rabu. Kami pun pulang dengan hasil nol.
Hari Rabu suasana sudah jauh berbeda, senyum Kota Ambon yang dikenal ramah kini mulai terlihat di wajah segelintir warga. PNS yang sudah libur selama 2 hari kini telah memulai tugas masing-masing. Kegiatan penelitian kami pun dimulai saat itu.
Hari Jum'at adalah hari terakhir saya di Ambon. Meninggalkan kota yang telah menguji nyali saya, tak mudah melalui semua ini, saya pun bersyukur bisa berkumpul lagi dengan keluarga yang selama saya di Ambon sangat mencemaskan keselamatan saya.
Damailah Ambon, katong samua basudara!