Mohon tunggu...
Firdaus Marbun
Firdaus Marbun Mohon Tunggu... -

adalah seorang yang aktif dalam pekerjaan-pekerjaan penyelidikan sosial dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Tradisi Instan

7 November 2014   22:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:22 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini kita melihat perdebatan yang cukup menarik di media sosial mengenai pekerjaan rumah (PR) Matematika seorang siswa kelas II SD. PR yang dikerjakan seorang mahasiswa teknik (kakak si anak) dan diperiksa oleh guru. Nah, guru si anak menyalahkan PR tersebut walau hasil perhitungannya sama. Yang menarik adalah, PR tersebut sempat menimbulkan polemik tidak hanya bagi pengguna media-media sosial, tapi juga professor-profesor yang ahli di bidangnya. Pangkal persoalannya adalah adanya pro dan kontra atas proses perhitungan soal tersebut. Sebagian menyatakan bahwa proses itu sangat penting dan merasa wajar kalau PR tersebut disalahkan. Sementara, sebagian yang lain menyatakan bahwa keterlaluan guru yang menyalahkan PR tersebut padahal hasilnya sama.

Tentu saja yang dibahas dalam tulisan ini bukan perdebatan antara dua professor yang memang sama-sama ahli dalam bidang tersebut, tidak juga soal salah benarnya jawaban PR matematika tersebut. Tulisan ini membahas tentang fenomena yang berkembang di masyarakat kita yang lebih menggandrungi orientasi pada hasil akhir semata tanpa harus mengikuti proses untuk mencapai hasil akhir tersebut. Orientasi hasil akhir yang kemudian seringkali memanipulasi proses atau tahap-tahap pencapaian hasil akhir demi mencapai hasil secara cepat, mudah dan tidak ribet. Bahkan, banyak di antara masyarakat kita tidak lagi mau menjalani tahap-tahap yang sudah digariskan tapi mengharapkan hasil yang maksimal. Penyelesaian suatu masalah secara sistematis, mengalami kegagalan berkali-kali dan kemudian belajar dari pengalaman atas kegagalan tersebut dan menghasilkan nilai baik yang bisa dipertanggungjawabkan cenderung ditinggalkan oleh masyarakat kita dan mulai menggandrungi tradisi instan.

Pilihan masyarakat untuk mengutamakan hasil akhir dan meninggalkan proses panjang menuju ke hasil akhir tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Keinginan untuk sesegera mungkin dapat menikmati hasil merupakan logika berpikir pada prinsip efisiensi. Namun, kebiasaan instan akan berakibat pada kurang kompetennya masyarakat dalam pekerjaan mereka. Proses yang tidak berjalan semestinya atau kecenderungan untuk memanipulasi proses akan melahirkan tenaga kerja-tenaga kerja yang tidak menguasai bidangnya. Sehingga banyak perusahaan, instansi, sekolah maupun perguruan tinggi tidak mampu meningkatkan kualitas kerjanya bahkan malah lebih buruk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh manipulasi akan proses. Manipulasi akan proses ini akan mengakibatkan terciptanya sumber daya manusia karbitan yang tidak bisa diandalkan sama sekali.

Munculnya polemik pada proses perhitungan PR matematika anak SD di atas menjadi satu bukti bahwa banyak diantara masyarakat kita yang menerima dan mementingkan hasil akhir semata, tanpa harus mengikuti proses yang seharusnya. Tidak masalah prosesnya bagaimana, yang penting hasilnya sama. Tradisi ini juga berlaku dalam hampir seluruh sektor kehidupan, di lingkungan pendidikan, perusahaan, instansi pemerintahan, instansi hukum dan melibatkan banyak pihak. Dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Dari guru, pegawai negeri, pegawai swasta, pejabat rendahan hingga pejabat tinggi, pemimpin partai dan semua pihak di masyarakat kita telah menerapkan ini sebagai satu kebiasaan umum, walau sebagian juga masih dirahasiakan. Tentu menjadi rahasia umum. Sementara tradisi ini berkembang dengan maraknya, di sisi lain kita butuh sumber daya manusia yang handal untuk kemajuan bangsa kita yang jauh dari kebiasaan-kebiasaan instan dan praktis.

Tradisi instan adalah satu kebiasaan masyarakat yang menginginkan segala sesuatu cepat selesai, tidak harus menunggu lama, mudah dan tidak ribet. Tradisi ini lebih mengutamakan kecepatan, lebih suka melihat hasil dan cenderung kurang menghargai proses atau bahkan tidak ingin menjalani proses itu sendiri. Dalam pengertian yang sederhana, tradisi instan ini adalah jalan pintas yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan. Jalan pintas bias terjadi karena seseorang merasa putus asa atas keinginan yang tidak tercapai. Rasa putus asa itu kemudian mendorong seseorang untuk mencari cara lain yang jauh lebih mudah dan diluar batas-batas normative untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan. Cara-cara mudah ini kemudian menjadi satu kebiasaan dan menyebar serta diterima oleh sebagian besar masyarakat. Kebiasaan yang kemudian diterapkan oleh kebanyakan orang sebagai rahasia umum dan berkembang menjadi satu tradisi instan.

Secara positif, tradisi instan bisa didefinisikan sebagai satu kebiasaan yang positif. Positif karena lebih mengutamakan prinsip efisiensi, mengutamakan kecepatan dan kepraktisan dalam setiap pekerjaan, tidak buang-buang waktu dan energi. Produktifitas yang tinggi dari seseorang dihasilkan dari disiplin yang ketat, efisiensi dan efektivitas. Dengan efisiensi, masyarakat lebih menghargai waktu. Namun yang berbeda dengan tradisi instan yang berkembang pada masyarakat kita adalah tradisi jalan pintas yang tidak lagi memperhatikan hal-hal normative, tidak mengikuti proses secara sistematis sesuai ketentuan yang ada. Tradisi instan seperti ini berakibat pada masyarakat tidak lagi banyak berusaha, niat bekerja keras semakin hilang dan mulai terganti keinginan hanya untuk bersenang-senang.Tradisi ini menciptakan masyarakat yang malas dan tidak bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu dampak dari tradisi instan yang paling nyata dan paling buruk adalah menghalalkan segala cara.

Banyak tradisi instan atau pencapaian keinginan lewat jalan pintas yang dapat kita temukan dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa diantaranya seperti kecurangan dalam ujian nasional anak-anak sekolah. Tidak hanya dilakukan oleh siswa, yang lebih parah adalah mulai dari kepala sekolah hingga guru juga turut melakukan kecurangan. Dengan alasan malu tidak memenuhi standar, mereka melakukan kecurangan secara bersama-sama. Dalam berbagai perekrutan, tradisi ini juga seringkali kita saksikan seperti test-test untuk mendapatkan pekerjaan, test untuk masuk perguruan tinggi, test untuk masuk militer dan sebagainya. Pembinaan atlet-atlet olahraga juga tradisi ini tidak bisa lepas. Kita bisa lihat hingga hari ini prestasi olahraga kita sangat jauh tertinggal dari Negara-negara lain. Hal ini tentu saja dikarenakan tradisi instan dalam perekrutan dan pembinaan atlet yang tidak sistematis.

Bukan itu saja, dalam proses politik juga tradisi instan ini sangat kental. Banyak anggota-anggota legislative hanya mengandalkan uang untuk bisa duduk di gedung dewan. Dengan retorika yang bertopengkan pada kepentingan rakyat mereka kemudian berusaha untuk menarik simpati rakyat agar mau memilihnya hanya dalam sebulan masa kampanye. Sementara banyak waktu sebelum itu mereka sangat jauh dari rakyat. Tradisi instan ini juga banyak digandrungi oleh masyarakat kita untuk memperkaya diri. Banyak pejabat kita yang untuk memperkaya dirinya melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sehingga banyak pejabat yang mempunyai harta tidak wajar sesuai dengan penghasilannya. Banyak pejabat kemudian terjerat kasus hukum karena kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Dari Pegawai Negeri Sipil golongan rendah sampai golongan tinggi, pejabat Negara seperti menteri, anggota dewan, pelaku hukum seperti hakim, jaksa, polisi, TNI sampai pada pimpinan partai politik tidak luput dari jeratan kasus korupsi. Semuanya tentu saja akibat dari tradisi instan yang sudah semakin berkembang.

Secara historis,jika melihat tradisi bangsa kita yang pada umumnya adalah petani, maka sangat tidak mungkin menyimpulkan bahwa tradisi instan adalah tradisi asli bangsa kita. Mengapa demikian? Tradisi untuk mencapai hasil yang cepat, mudah dan tidak ribet tidak pernah tertanam secara sadar atau tidak sadar di masyarakat petani. Masyarakat petani yang nota bene adalah masyarakat yang menanam, mengelola dan memelihara tanaman pertanian mereka adalah masyarakat yang bekerja dengan sistematis, mengikuti tahap-tahap pengelolaan secara sistematis dan menunggu dengan sabar sampai tiba masa panen. Menunggu dengan sabar sesuai dengan waktunya: ada yang cepat dan ada yang lama, seluruhnya harus diikuti. Tidak ada manipulasi dalam proses tersebut. Tidak ada juga peluang untuk mengkorupsi waktu sehingga hasil panen lebih cepat dari perkiraan.

Kuat dugaan tradisi instan ini sudah dikenalkan masuk seiring dengan masuk dan berkembangnya kolonialisme di Indonesia. Penetrasi budaya kolonial yang lebih mengutamakan kecepatan dan kemudahan kemudian secara perlahan mulai menggantikan tradisi asli masyarakat kita. Penetrasi budaya ini kemudian dipermudah dengan massifnya penindasan oleh kolonial terhadap masyarakat. Penindasan yang menyebabkan masyarakat kehilangan arah dan tujuan hidup, sehingga mengakibatkan frustrasi. Rasa frustrasi yang bertumpuk dan tidak ada jalan keluar, sehingga memaksa masyarakat kita kemudian berusaha mencari cara-cara mudah dalam memenuhi kebutuhannya.

Derasnya arus globalisasi mendorong tradisi instan semakin berkembang dan menyebar di masyarakat kita kini. Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan teknologi informasi membuat masyarakat kita dimanjakan dengan berbagai kemudahan dan kepraktisan. Dengan adanya globalisasi berbagai tradisi baru yang tidak dikenal sebelumnya menjadi dikenal dan diterapkan. Orang lebih mudah mendapatkan barang-barang kualitas baik dengan harga murah, komunikasi dengan cepat tanpa ribet walau jarak yang sangat jauh dan mencari informasi yang terjadi di belahan dunia dalam waktu yang singkat. Berbagai teknologi juga dikenalkan dari berbagai belahan dunia yang mempermudah segala jenis pekerjaan manusia. Lama-kelamaan teknologi ini kemudian menggantikan tenaga manusia, dan manusia juga lebih memilih hal-hal yang praktis dibanding yang ribet.

Berbagai kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan globalisasi membuat masyarakat semakin manja dan secara perlahan mengubah pola pikirnya untuk lebih mendapat hasil yang instan dan praktis. Seperti dijelaskan di atas, dalam hal positif tradisi baru ini kemudian jadi tradisi yang sangat menguntungkan. Namun, sebagian masyarakat kita menerapkan tradisi instan dalam makna yang negatif dengan cara-cara di luar batas kewajaran, dan bahkan kemudian sering memanipulasi proses yang seharusnya dilalui. Banyak orang kemudian mencari jalan pintas untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan menyogok, berlaku curang dan lain sebagainya. Perilaku ini kemudian berkembang menjadi satu kebiasaan walau tetap dirahasiakan. Tradisi ini sesungguhnya menjadi rahasia umum yang tidak perlu lagi untuk disangkal.

Tradisi instan mendorong masyarakat untuk lebih berorientasi pada hasil akhir semata bukan proses yang berlangsung. Penghargaan semata hanya pada hasil ini berakibat kepada berkembangnya masyarakat yang tidak menghargai usaha dan kerja keras selama proses mencapai suatu hasil berlangsung. Berbagai tindakan yang menyimpang dari norma akan berlaku kemudian jika penerapan tradisi instan tidak bisa dikendalikan. Tindakan-tindakan yang menyimpang tersebut seperti pendekatan kepada pimpinan untuk memperoleh jabatan yang diinginkan, sogok-menyogok, manipulasi data, melakukan kecurangan dan melahirkan calo dalam banyak urusan. Masyarakat akan senantiasa mencari jalan pintas demi mencapai hasil akhir yang diinginkan tanpa perlu bekerja keras dan belajar. Kondisi ini berakibat pada tidak berkembangnya sumber daya manusia baik secara intelektual maupun secara emosional. Sehingga yang terjadi kemudian generasi kita menjadi generasi yang tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu, tradisi instan bukanlah pilihan yang tepat dalam membangun bangsa yang lebih besar dan disegani di dunia internasional. Bangsa yang disegani adalah bangsa yang mampu menyelesaikan persoalan secara mandiri dengan mengandalkan sumber daya manusia yang berkualitas mumpuni bukan karena gantungan atas rasa kasihan dan pemberian bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun