[caption id="attachment_297159" align="aligncenter" width="620" caption="Admin/Ilustrasi (Shutterstock)"][/caption] Saya baru kembali dari perjalanan ke Malaysia selama 5 hari sejak tanggal 10 Oktober 2013 yang lalu. Bagi saya perjalanan ke Malaysia ini merupakan perjalanan pertama kali. Memang saya sudah beberapa kali ke luar negeri, namun bepergian ke Malaysia merupakan pengalaman pertama. Waktu mendarat pertama kalinya di KLCC, Kuala Lumpur (karena saya menggunakan pesawat Air Asia), saya bisa melihat betapa bandara KLCC (yang khusus untuk penerbangan LCC Low Cost Carrier) begitu bersih dan bebas dari percaloan.  Saya bisa melihat sistem informasi turis begitu lengkap dan mendetail. Kita tidak perlu takut calo dan sopir taxi yang nakal.  Airport (Bandara) LCC ini begitu terintegrasi dengan angkutan umum segala moda. Mau ke pusat kota, kita bisa memilih bus Bandara yang hanya kena RM 8 per orang. (Kurs RM 1 = Rp 3640. Jadi cuma sekitar Rp 30.000).  Dan perjalanan ke pusat kota bisa ditempuh dalam tempo sekitar 1 jam saja. Dari pusat kota (KL Sentral), kita bisa memilih segala jenis angkutan. MRT sejenis MonoRail, LRT (light Rapid transport), dan lainnya. Belum lagi sarana bus nya yang begitu lengkap dan murah.  Makanan di Kuala Lumpur juga tidak terlalu mahal. Rata-rata sekitar RM 5 untuk sarapan / makan siang (sekitar Rp 18ribu). Saat kunjungan saya ke Malaysia,  di Hotel tempat saya menginap, saya sempat menonton siaran berita terkait pernyataan Perdana Menteri Malaysia yang berniat menjadikan Malaysia sebagai Pusat bisnis yang nyaman bagi para pengusaha dan calon pengusaha.  Generasi muda didorong untuk menjadi Pengusaha dan didukung permodalan tanpa harus dengan Jaminan asset.  Benar-benar luar biasa. Saya bandingkan dengan kondisi di Indonesia. Kita yang sudah lama berbisnis aja, jika tidak punya jaminan yang cukup dan melebihi nilai kredit, jangan bermimpi bisa dapat fasilitas pembiayaan bank. Sewaktu bertemu teman lama di Malaysia, mereka cuma berkata bahwa kondisi berusaha di Malaysia berbeda jauh dengan kondisi bisnis di Indonesia. Di Indonesia, untuk berusaha harus punya perizinan yang harus terus dilengkapi. Beda dengan di Malaysia, mendaftar usaha bisa online dan murah. Sudah mirip dengan Singapura.  Pemula juga sulit mendapat dukungan pendanaan. Sedangkan di Malaysia, Pemerintahnya benar-benar memanjakan Pengusaha terutama pengusaha yang masih baru. Pengusaha baru, rata-rata memanfaatkan rumah sebagai markas usaha mereka. Pemerintah Malaysia tidak melarang hal tersebut dan banyak saya temui pengusaha yang beroperasi dari rumahnya. Sewaktu saya tanyakan hal tersebut pada teman, saya mendapati bahwa di Malaysia tidak dikenal istilah surat domisili.  Saya jadi teringat sewaktu saya mendirikan perusahaan di Hongkong. Cukup kita datang ke Notaris setempat atau Corporate Secretary, kita bisa minta dibuatkan perusahaan baru atau bahkan membeli perusahaan yang sudah jadi (Shelf Company) dan biayanya cuma sekitar HK 3000 alias sekitar Rp 4 Jutaan. Ini perusahaan sudah lengkap dan tinggal beroperasi saja. Bandingkan dengan biaya mendirikan perusahaan. Biaya aktenya saja mungkin sudah Rp 4 Jutaan (tergantung modal dasar dan modal disetor). Biaya domisili perusahaan bisa mencapai Rp 1 Juta. Belum lagi ketentuan tidak boleh menggunakan domisili rumah tinggal, berarti harus menyewa ruko atau perkantoran, minimal sekarang sudah sekitar biaya extra Rp 25 Juta per tahun. Di RRC, saya pernah mengecek, modal untuk mendirikan perusahaan : BEBAS. Bahkan 1 Yuan pun boleh. Jangan coba-coba lakukan hal tersebut di Indonesia, kecuali Anda siap dicuekkin oleh Notaris atau biro jasa atau Kantor Pendaftaran Perusahaan. Di RRC bahkan lebih bebas. Kita boleh menggunakan rumah tinggal untuk tempat usaha. beberapa rekanan bisnis saya malah berkantor di rumah susun alias apartemen. Omsetnya bukan ecek-ecek.  ratusan ribu dollar dan hebatnya semua dilakukan dan dikendalikan dari sebuah apartemen kecil di kota Shenzhen dan di kota Guangzhou. Saya melihat efisensi birokrasi dengan memangkas peluang bertemu langsung - merupakan suatu niat Pemerintah Indonesia untuk menekan biaya perizinan. Pemerintah Singapura sudah menerapkan hampir sebagian besar perizinan hingga pendaftaran usaha bisa dilakukan secara online. Begitu sudah direspon konfirm, tinggal bayar biaya retribusi di bank yang ditunjuk. Sangat simple dan cepat. Tidak bertele-tele. Mudah-mudahan kelak di Indonesia bisa lebih menerapkan efisiensi birokrasi dan perizinan sehingga kondisi berusaha di Indonesia bisa lebih kondusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H