Seperti layaknya jumlah followers dalam media sosial, rakyat juga diartikan sebagai angka. Terjadi impersonalisasi secara besar-besaran. Tak hanya dalam kasus jumlah pengikut dalam media sosial, harkat seorang manusia sebagai angka belaka juga terjadi dalam pengikut di dunia nyata. Seperti pejabat terhadap rakyat.
Memang, impersonalisasi manusia sebagai silih tidak hanya terjadi dalam kasus korupsi tetapi dalam tindak kejahatan yang lain. Seperti penjarahan massal, pengkhianatan atas janji para pejabat hingga perang dunia. Manusia seolah-olah tidak lebih pentingnya daripada segumulan semut.
Selain impersonalisai manusia yang dikarenakan jumlahnya yang banyak, wajah mereka yang tidak kelihatan juga menjadi silih atas perbuatan korupsi ini. Mereka para koruptor tidak akan pernah tahu wajah rakyat yang mereka jarah hak serta hartanya. Wajah yang kusam akibat kemelaratan yang mereka rasakan. Padahal bukan hanya semata-mata karena diri mereka sendiri tetapi karena pejabat yang mengurusinya malah asik korupsi dan mentelantarkan hak mereka.
Mekanisme silih dengan kebaikan atas kejahatan yang dilakukan
Perasaan tidak bersalah yang mengakibatkan pelaku korupsi masih melakukannya, juga diakibatkan karena adanya mekanisme silih dengan mengalokasikan sebagian hasil korupsinya kepada pihak lain. Namun, yang harus digaris bawahi disini ialah hanya “sebagian”.
Seperti dibagikan kepada partai politiknya. Mengalokasikan hartanya guna kepentingan internal partainya. Entah itu dalam rangka kampanye ataupun acara pembagian sembako kepada rakyat dari parpol itu sendiri. Namun, nyatanya anggaran untuk sembako tidak membutuhkan uang yang banyak, hanya dalam pendataan anggaran tersebut sengaja dibesarkan.
Perasaan ini akan semakin ringan apabila digunakan untuk kepentingan umum. Seperti dipakai untuk menciptakan lowongan pekerjaan ataupun menggaji pekerja yang bekerja di perusahaan miliknya.
Adapun yang membuat si pelaku tidak memiliki rasa bersalah adalah dengan mengalokasikan hartanya di jalan yang “suci”. Seperti disalurkan kepada panti asuhan, panti jompo, membangun tempat ibadah ataupun mengumrohkan orang yang beragama islam. Alasan ini menjadi alasan paling pamungkas bagi si pelaku agar dirinya sendiri tak merasa bersalah.
Bahkan ternyata mekanisme silih ini tidak hanya meringankan perasaan bersalah pada dirinya, namun juga meringankan di hadapan hakim.
Seperti dalam waktu dekat ini dalam kasus Suharjito yang terlibat kasus korupsi. Perbuatannya yang selalu mengumrohkan karyawannya. Seperti dikutip dari tempo.co (22/04/2021) Hal lain yang meringankan, kata hakim Usada,terdakwa setiap tahun peduli memberikan kesempatan 10 karyawan/karyawati beragama Islam untuk melakukan ibadah umrah. Sementara itu, bagi karyawan nonmuslim, berziarah ke tanah suci sesuai keyakinan dan agama yang dianut.
Selain mekanisme silih tersebut dalam kasus itu juga ditemukan kepiawaian pembela dalam sidangnya sehingga hal yang meringankan bagi pelaku lebih banyak ketimbang yang memberatkannya.