"Terdakwa berjasa membangun 2 masjid dan rutin memberikan santunan kepada yatim piatu dan kaum duafa di Jabodetabek," kata ketua majelis hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 21 April 2021 (dalam kasus Suharjito).
Maraknya koruptor dari masa ke masa di negeri ini ternyata tak kunjung terbendung. Meskipun kerap kali para koruptor itu tertangkap dan diadili, namun, nyatanya hal itu tak bisa membuat para pelaku lain untuk jera. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?
Ternyata selain dari lemahnya kekuatan hukum di Indonesia, banyaknya silih yang dipakai untuk melegitimasi perbuatan mereka juga membuat si kerah putih ini masih melakukannya lagi dan lagi.
Beberapa alasan atapun silih para koruptor sehingga mereka merasa tidak bersalah dan tidak jera, setidaknya ada 3 hal. Hal ini juga senada dengan Haryatmoko selaku pakar etika yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Etika Politik dan Kekuasaan”.
Fenomena impunitas di meja sidang
Fenomena impunitas atau tiadanya sanksi hukum ketika dalam persidangan menjadi hal yang paling menarik bagi para koruptor untuk tetap melakukan aksinya. Lemahnya pengawasan dan piawainya pembela ketika berlangsungnya sebuah sidang adalah indikator utama terdakwa mendapatkan impunitas.
Adanya hakim yang korup juga kadang kali menjadi penyebabnya. Jika bukan hakim yang memiliki integritas dan kredibilitas yang tinggi, bisa saja mereka dapat disuap dengan mudah. Apalagi oleh koruptor yang tak usah ditanya tentang ketebalan dompetnya. Sehingga pelaku bisa keluar dari masalahnya dengan mudah tanpa diproses secara hukum.
Kepiawan pembela juga menjadi indikator terhadap impunitas ini. Jika pembela dapat membuat alibi yang terstruktur dan terorganisir sehingga dapat mengelabui si hakim. Melemahkan bukti-bukti hukum yang ada. Mementahkan saksi yang memberatkan dan menambahkan saksi-saksi yang meringankan.
Impersonalisasi korban
Korban yang terlibat dalam kasus korupsi sudah sangat kita ketahui dengan jelas berjumlah begitu banyak yaitu rakyat Indonesia. Namun, ternyata lebih banyak korban yang terlibat, malah membuat para pelakunya merasa tak bersalah. Hal ini dikarenakan ketika manusia dalam jumlah yang banyak sering diartikan sebagai hanya angka belaka.