Indonesia sedang diuji dalam hal toleransi. Ujian itu biasanya terjadi untuk menaikkan level. Saya pribadi, yakin ujian kali ini untuk semakin menaikkan level kita, khususnya dalam kualitas toleransi. Dan sejak lama beragam ujian kita alami, kita lebih banyak berhasil melewati ujian tersebut dan naik level dalam hal toleransi.
Ujian terbaru datang dari Bandung dan Yogyakarta. Sebuah kegiatan keagamaan diprotes oleh sekelompok pihak di Bandung. Sedangkan di Yogya, sekelompok pihak mengajukan keberatan dengan sebuah tindakan kampus dengan label agama tertentu yang berkaitan dengan agama lain. Hal-hal semacam ini sesungguhnya kerap terjadi di seluruh pelosok tanah air kita yang beragam ini. Indonesia memang mayoritas muslim, tapi di beberapa wilayah, muslim justru minoritas.Â
Di Papua, NTT, Bali, Sulawesi Utara, dan di beberapa kabupaten, muslim bukan mayoritas. Gesekan mayoritas – minoritas kerap terjadi. Walaupun dalam sebagian besar kasus, yang bergesekan adalah pihak tertentu (jumlahnya sedikit) dari mayoritas dengan pihak tertentu (jumlahnya juga sedikit) dari minoritas. Sayang, sebagian dari kita cenderung menggenaralisir.
Dari sejarah gesekan toleransi di negara kita, dapat diselesaikan dengan baik, berkat cara pandang yang tidak menggeneralisir masalah dan pihak yang terlibat. Karena tidak jarang, masalah timbul bukan karena intoleransi, melainkan hal di luar itu. Yang bergesekan pun ternyata tidak banyak. Hanya segelintir pihak.
Saya yakin, semua masalah yang dianggap potensi merusak hubungan harmoni semua pihak di negeri ini, bisa diselesaikan dengan cara pandang seperti itu. Kita tidak bijak jika menggeneralisir masalah, dari yang lokal dan kecil ke level yang lebih tinggi.
Sebelumnya, kita juga menghadapi ujian hal sensitif terkait ucapan Ahok yang menyinggung perasaan kaum muslim. Masalah ini relatif bisa dilokalisir dan tidak melebar ke masalah lebih besar berkaitan dengan agama atau suku seseorang. Ahok memang berasal dari suku dan agama tertentu (minoritas). Tapi sikap dia, sama sekali tidak bisa dan tidak boleh dianggap sebagai perwakilan sikap suku dan agamanya. Tidak boleh digeneralisir. Alhamdulillah, sampai saat ini, kita masih bisa bersikap demikian. Dan semoga seterusnya pun begitu. Biarlah, kalau Ahok dianggap salah, maka dia sendirilah yang menanggung akibatnya. Bukan pihak lain.
Sikap generalisir ini biasa terjadi di mancanegara. Munculnya Islamophobia, salah satunya akibat sikap generalisir. Ketika ada pihak tertentu melakukan aksi negatif (saat ini adalah aksi terorisme) dan berasal dari agama tertentu, maka agama itu dicap seperti aksi negatif itu dan  siapapun yang beragama tersebut akan menerima dampak negatifnya. Sebuah sikap generalisir yang sangat tidak bijak dan keliru. Tapi hal ini hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia tidak. Itulah hebatnya masyarakat Indonesia.
Kita sudah mengalami beragam ujian terkait isu SARA, sampai detik ini. Dan kita tetap sukses menjaga keutuhan NKRI. Dan ujian itu pasti akan terus terjadi dan terjadi lagi. Tapi saya optimistis, kita akan mampu meredam dan menyelesaikan semua ujian tersebut, karena kita makin dewasa. Salah satunya bersikap rasional, logis, dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar. Kita tidak pernah mau menggeneralisir sesuatu.
Jangan heran, meski kita pun sering menghadapi masalah intoleransi SARA, banyak pihak di luar negeri yang tetap memberikan apresiasi kepada Indonesia (bulan lalu Uni Eropa belajar lagi tentang praktik toleransi di Indonesia). Selain karena sikap mayoritas kita yang logis dan rasional (tidak pernah generalisir), juga karena bukti nyata bahwa NKRI tetap terjaga. Tetap utuh. Hal-hal yang sulit ditemukan di negara lain. Maka berbahagialah kita tetap bisa tinggal dan hidup damai di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H