Sikap dan kata-kata Ahok dalam persidangan tempo hari memang menyakitkan. Meskipun dalan konteks sidang, terlihat sekali bahwa gubernur petahanan itu, tidak sadar sedang berbicara dengan siapa. Seorang kyai senior, ulama yang dihormati, sesepuh NU yang berbasis puluhan juta umat. KH. Ma’ruf Amin berbeda dengan Habib Rizieq. Ketika saya mendengar rekaman cara dan gaya Ahok serta pengacaranya berbicara kepada kyai, dan menganalisis isinya, wajar jika warga NU tersinggung, lalu marah. Wajar.
Saya sendiri bukan warga NU. Tapi merasa ikut tersinggung juga. Sudah keterlaluan. Gayanya senga. Congkak. Isinya juga menuduh pak kyai macam-macam. Seperti kata Yenny Wahid, NU itu sekarang netral. Non partai. Tidak boleh mendukung salah satu paslon. Tapi Ahok dan pengacaranya menggiring opini seolah-olah pak kyai mendukung paslon nomor satu. Menuduh pak kyai disetir oleh SBY. Ahok dan pengacaranya memaksakan kasus ini ke arah politik sesuai keinginan mereka.
Anehnya, ketika Ahok meminta maaf… salah satu pointnya adalah jangan arahkan kasus ini ke politik. Loh, mereka sendiri yang menggiring ke arah sana. Analisis isi di persidangan sama sekali tidak singkrong dengan bantahan, klarifikasi dan permintaan maaf Ahok. Terlihat sekali bahwa kubu Ahok dan para cukongnya, kaget dengan reaksi warga NU yang begitu keras dan mewabah di mana-mana.
Lagi-lagi mulut Ahok menimbulkan keresahan baru. Dia tidak bisa mengontrol emosinya. Gagal mengelola emosi adalah kegagalan fatal dari seorang pemimpin. Bayangkan, jika pemimpin NU juga setipe dengan Ahok, tidak bisa mengontrol emosi juga. Habislah negeri ini. Untunglah yang kurang piawai mengontrol emosi hanya pemimpin FPI, bukan pemimpin NU atau Muhammadyah, dua organisasi Islam terbesar di negeri ini.
Sejarah menunjukkan bahwa NU memang piawai mengontrol emosi. Sudah berkali-kali mereka berpengalaman dalam konflik seperti ini. Ingatkah pada 2001 lalu, bagaimana pemimpin tertinggi NU yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi presiden mendapatkan serangan politik yang sangat tajam? Saat itu, warga NU merasa sangat tersakiti. Konflik tersebut sangat tajam sampai-sampai Gus Dur dilengserkan dari posisi presiden. Warga NU marah. Sejumlah organisasi sayap NU siap-siap melakukan perlawanan. Tapi untunglah, para pemimpin NU mampu meredam itu semua, sehingga bangsa ini tidak terjerembab ke dalam konflik massal.
Sekarang pun, saya sangat yakin para pemimpin NU dan organisasi sayapnya seperti Ansor dll., akan mampu menahan diri. Seperti yang ditegaskan oleh KH. Agil sang Ketua PB. NU pada ulang tahun ke-91 organisasi tersebut, NU lebih mengutamakan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) di atas ukhuwah islamiyah. Ujian penegasan itu, sudah muncul sehari setelah ulang tahun NU. Pelakunya adalah Ahok dan tim pengacaranya. Saatnya, NU menampakkan diri, benar-benar sebagai organisasi Islam berwajah moderat, santun dan toleran.
Dan saya yakin, NU akan mampu menahan diri, sehingga kita merasa beruntung memiliki organisasi keagamaan mayoritas seperti NU dan Muhammadyah, untuk meredam godaan orang-orang seperti Ahok dan sejenisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H