Hari Sabtu, tanggal 28 April 2012 di komplek perkantoran Bank Indonesia tepatnya diruang serbaguna Syafruddin Prawiranegara diadakan acara Workshop Intip buku yang didukung oleh IB Syari'ah.
Karena baru pertama kali saya ikut Workshop tentang ini, hati saya deg-degan bagaimana nanti acaranya. Apalagi acaranya diadakan di Bank Indonesia yang notabene saya tidak pernah masuk kedalamnya. Karena sudah niat, saya bulatkan tekad untuk pergi walaupun sendirian.
Tiba di Bank Indonesia, saya ditunjukkan satpam lokasi acaranya. Tetapi saya masih belum paham betul posisi gedungnya. Saya parkir motor agak jauh dari gedung yang ditunjukkan, walhasil saya harus berjalan agak jauh dan mencari sendiri. Karena di BI hari sabtu adalah hari libur maka orang jarang sekali terlihat dan pintu masuk menuju gedung hanya dibuka satu, akhirnya saya berjalan agak jauh dan memutar. Suatu perjuangan yang menurut saya agak melelahkan.
Sampai di lokasi, langsung daftar ulang ke panitia MeetPro. Saya disambut dengan sangat baik terbukti dengan diberikannya beberapa majalah dan snack. Alhamdulillah perjuangan saya tidak sia-sia.
Acara dimulai jam 09.00 dan dibuka oleh pembawa acara yang sayang sekali saya lupa namanya (mudah-mudahan nanti bisa kenalan). Sesi 1 dimoderatori oleh Amril Taufiq Gobel. Dengan kemampuannnya yang tidak perlu diragukan lagi, Daeng begitu dia dipanggil membuka acara Intip Buku sesi 1 dengan mantap. Kata yang saya ingat dari dia adalah pendidikan layaknya Gamelan. Berbunyi pada waktu yang pas dan diam pada waktu yang pas. Artinya jika suatu pendidikan bagus maka akan terjadi sinkronisasi antara kapan berbicara dan kapan diam.
Kemudian pembicara pertama, Pepih Nugraha atau kang Pepih biasa dipanggil. Menceritakan pengalaman dia tentang menulis. Banyak pengalaman Kang Pepih yang bisa dijadikan pelajaran. Salah satunya bahwa dia melakukan kegiatan tulis menulis dimulai ketika kelas 5 SD. Wajar saja dia sekarang bisa menjadi seorang wartawan yang mempunyai tulisan-tulisan yang mengagumkan karena memang dilatih sejak kecil.
Tidak ada seorangpun yang bisa membuat tulisan yang bagus tanpa dilatih terus menerus. Ada satu ucapan beliau yang menarik, “saya bisa menulis seperti sekarang ini karena sering membaca dan membaca itu hadirkan kemampuan menulis” tuturnya. Di akhir pembicaraannya, kang Pepih memberikan motivasi kepada para guru, bahwa menulis itu bukan hanya monopoli kolomnis, wartawan, novelis, akan tetapi menulis bisa dilakukan oleh siapapun asalkan dia mau dan bekerja keras.
Kemudian pembicara kedua, sang penulis buku “Jadi Jurnalis itu gampang”, mas Imam FR Kusumaningati. Dengan pembawaannya yang kalem, dia menuturkan pengalamannya tentang penulisan buku. Awalnya dia bingung mau menulis apa. Karena dia tidak menemukan buku tentang jurnalis, akhirnya dia punya ide untuk membuat buku tentang jurnalis itu. Sangat brilian.
Yang membuat saya bangga adalah mas Imam ini adalah calon sarjana Pendidikan agama Islam. Kata orang, bisa apa seorang lulusan Agama, paling jadi guru ngaji. Tapi beliau bisa merubah paradigma itu dan membuka pikiran orang bahwa siapapun orangnya kalau mau, pasti bisa jadi penulis. Salut
Pembicara ketiga tak kalah mengagumkannya. Mas Taufik Effendi, seorang dosen UNJ yang kemampuannya tidak usah diragukan lagi. Walaupun beliau mempunyai keterbatasan fisik, tapi beliau bisa membuktikan kepada semua orang bahwa dia bisa. Dengan semangatnya yang luar biasa beliau berhasil keluar dari kegelapan. “Hampir saja saya menjadi tukang pijit” tukasnya. Tapi dia tidak putus aja, dia ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa dia juga bisa meski tunanetra. Akhirnya dia mendapatkan banyak beasiswa. Tips menarik dari dia adalah jika ingin dapatkan beasiswa, rahasianya adalah menulis. Amazing
Kemudian acara diisi dengan coffee break selama setengah jam, dilanjutkan dengan sambutan dari bintang tamu saat itu Marsekal (Purn) Prayitno Ramelan. Seorang mantan intelejen yang menjadi penulis tetap (boleh dibilang begitu) di Kompasiana.com. Menulis itu bisa menjaga umur, ujarnya. Betapa banyak orang yang setelah pensiun dari tempat kerjanya meninggal karena mereka tidak terbiasa untuk menulis dan membaca, ujarnya kembali. Menulis adalah proses mengekspresikan diri, jika kita terbiasa menulis maka kita akan bisa mencurahkan semua isi hati kita, dengan begitu hidup kita jadi lebih sehat. Satu yang bisa saya ambil hikmah dari beliau adalah jangan takut untuk menulis. Tulislah apa yang kamu minati. Apakah kamu seorang birokrat atau tidak? Menulis ya menulis aja, gak usah takut. Tapi beliau memberikan tips jika ingin menulis tentang pemerintahan tolong perhatikan UU ITE. Mantap
Sesi kedua dimoderatori oleh Pak Agus, dengan pembicara pertama Pak Johan Wahyudi. Dengan pembawaannya yang ceria, beliau berhasil memikat peserta Intip Buku. Walaupun beliau sering mengatakan “ Cuma 15 menit” tapi itu tidak mengurangi antusiasme peserta mendengarkan presentasinya tentang menulis. Apalagi beliau ini adalah seorang penulis buku sekolah. Profesi yang sangat berdekatan dengan profesi guru. Beliau mengatakan jadi penulis buku sekolah itu gampang. “SK/KD ada, Standar isi ada. Apalagi? Tinggal kita kembangkan aja kok, ujarnya. Asalkan gurunya bisa kreatif dan berbeda dengan yang maka Insya Allah bukunya akan diterima oleh pasar. Satu lagi keuntungan menjadi penulis buku sekolah adalah segmen pasarnya yang sudah pasti. Buku sekolah pasti dicari oleh sekolah untuk para siswanya. Makanya gak heran pendapatan seorang Johan Wahyudi melebihi ekspektasinya.
Pembicara kedua yaitu seorang alumnus Gontor yang mempunyai kemampuan jurnalistik mengagumkan, Iskandar Zulkarnaen . Ini tidak heran, memang di Gontor siswa diberikan fasilitas untuk mengembangkan bakat dan minatnya di berbagai bidang. Isjet begitu panggilannya, menuturkan jika guru ingin menyalurkan minatnya dalam menulis silakan bergabung dengan media-media sosial khususnya yang dibidaninya yaitu Kompasiana.com. Tak berbeda jauh dengan pembicara yang lain dia menuturkan, bahwa jika ingin menjadi penulis yang hebat jangan bosan untuk sering menulis dan segera dipublikasikan melalui media sosial. Apa manfaatnya? Jika tulisan kita dibaca orang kemudian ada yang mengomentari tulisan itu. Maka itu akan menjadi pembelajaran bagi kita (Feedback). Asalkan kita menerima kritikan itu maka tulisan kita lama kelamaan akan menjadi baik. Itu hikmah yang bisa saya ambil dari pemaparan mas Isjet.
Hal yang membuat saya bangga untuk kedua kalinya adalah Isjet ini adalah masih satu pesantren dengan saya. Isjet ini pernah menuntut ilmu di pesantren Arrisalah dan sayapun pernah disana. Paradigma yang berkembang di masyarakat sampai hari ini adalah lulusan pesantren hanya bisa mengaji dan nantinya hanya bisa jadi guru ngaji. Tapi dengan adanya mas Isjet dan juga Ahmad Fuadi (penulis Negeri 5 menara) setidaknya bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa alumni pesantren sangat bisa eksis dalam berbagi bidang.
Dan pembicara terakhir adalah orang yang ditunggu-tunggu oleh peserta. Om Jay begitu sapaannya. Orang yang sangat “getol” menulis dan mengajak guru untuk menulis. Dia sangat luar biasa karena dalam sehari bisa menulis sampai 3 tulisan. Luar biasa. Dengan pembawaannya yang supel kepada semua orang, dia menuturkan bahwa menulis itu berproses. Gak mungkin langsung jadi. Dia mengisahkan bagaimana ia jadi rajin menulis ketika berkenalan dengan Kompasiana.com.
Menulis sudah menjadi kebutuhan untuknya. Suatu prinsip yang sangat bagus menurut saya. Ketika seseorang sudah merasa butuh kepada sesuatu, maka dia akan selalu merasa ada yang kurang jika tidak melakukan. Sama seperti kita makan. Ketika makan sudah menjadi kebutuhan, maka jika kita tidak makan sehari saja maka kita akan merasa lapar. Begitu juga dengan menulis, jika kita tidak menulis sehari saja, maka kita merasa ada yang kurang dan aneh. Sangat inspiratif.
Di akhir sesi, dia menuturkan jika ingin menjadi penulis maka belilah bukunya (menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi). Jika belum membeli maka belum disebut penulis. Hehe…
Akhirnya saya dapat mengambil pelajaran dari Workshop Intip Buku bahwa menulis itu esensinya adalah berbagi. Berbagi apa yang kita baca. Berbagi tentang pengalaman kita. Berbagi apa saja yang bermanfaat bagi orang lain. Berbagi sebenarnya adalah wujud syukur kita kepada Allah. Ketika kita mendapatkan ilmu lebih maka kita berbagi. Ini sangat sesuai dengan Al-Quran “jika kamu bersyukur makaAku akan tambah nikmatku”. Tak heran jika penulis mendapatkan rezeki yang lebih dari Yang Maha Kuasa.
Konsep berbagi ini sebenarnya tidak beda jauh dengan konsep IB syariah yang menggunakan konsep bagi hasil kepada nasabahnya. Tak heran jika penulis dan IB Syariah sama-sama hidup berkah. Berkah dunia dan berkah Akhirat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H