Mohon tunggu...
FIRDAUS AGUNG
FIRDAUS AGUNG Mohon Tunggu... -

Firdaus Agung lahir di Pasuruan, 29 April 1985. Menempuh sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Kota Malang, Jawa Timur. Saat ini bekerja sebagai Marketing Staff di Erlangga Publishing, Jakarta. Rutin menulis di weblog pribadi www.widjojodipo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Santri II

14 Desember 2010   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tapi, benarkah tidak ada yang keliru dengan nalar fikir ala masyarakat pesantren itu? Saya kira ada. Pertama, nalar fikir semacam itu (sami’na wa atha’na) lahir dari adanya perbedaan kelas sosial yang sangat berjarak antara Kyai di pihak yang satu dengan masyarakat kebanyakan di pihak yang lain. Kyai, dengan kualitas individu yang ia miliki, baik materiil maupun spirituil, berada pada posisi yang secara sosial jauh lebih tinggi dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Kualitas individu yang sedemikian rupa sangat berpotensi menarik berbagai macam apresiasi serta previlise (hak/wewenang istimewa) dari masyarakat. Keduanya tentu bukan hal yang negatif. Namun jika previlise itu tidak digunakan dengan arif dan hati-hati maka yang muncul kemudian adalah sebuah ketokohan yang angkuh.

Kedua, mindset warga pesantren yang memandang Kyai sebagai manifestasi muslim yang ideal acapkali memposisikan para santri sebagai pihak yang secara sosial sangat inferior. Inferioritas itu tampak, misalnya, dalam sikap sehari-hari mereka yang menunjukkan kepatuhan tanpa syarat kepada Sang Kyai. Pasrah bongko’an (pasrah secara total) kepada perintah dan kemauan Kyai sebenarnya merupakan tindakan yang sangat riskan, sebab itu sama artinya dengan menyerahkan selembar cek kosong kepadanya. Kyai, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan demikian akan leluasa menentukan masa depan para santri.

Ketiga, kebiasaan para santri yang menyerahkan keputusan akhir untuk berbagai problem kehidupan kepada Kyai tanpa disadari akan mempersempit cara pandang mereka terhadap apa yang disebut sebagai kebenaran. Seolah-olah solusi paling top untuk setiap persoalan hidup mereka ada di tangan Kyai. Dengan kata lain, solusi yang ditawarkan oleh orang selain Kyai bukan merupakan manifestasi dari sebuah kebenaran.

Namun demikian, jika memang tiga hal tersebut benar-benar terjadi dalam lingkungan pesantren mengapa keadaan orang-orang yang berada di dalamnya bisa sebaik saat ini?  Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun