Mohon tunggu...
Firdaus Afdal
Firdaus Afdal Mohon Tunggu... -

Pembeda yang menyamakan,,...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Uang Itu Berdetik Memangku Hatiku

29 Maret 2012   20:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kejadiannya beberapa hari yang lalu setelah kupelajari beberapa menit yang lalu. Kini, di tempat ini, dan di manapun nantinya sang bumi mempercayai pijakan ini, maka saya sudah memiliki apa yang seharusnya dimiliki. Tentang pentingnya selembar hati, tentang pentingnya sehelai uang, tentang pentingnya detik waktu, tentang pentingnya memiliki yang penting-penting.

Kalau waktu di kembalikan sedikit saja ke satu minggu yang lalu. Maka akan anda jumpai seseorang yang begitu menanti malam di teriknya teriakan siang. Akan anda temui seorang yang sungguh menaruh dalamnya janji pada siang, di malam hari. Akan anda temui seseorang yang tidak mengindahkan sang waktu, yang tak menyuguhkan hati pada mimpi yang kelak akan memakan impian-impiannya. Padahal jelas terukir rapi di dinding-dindingnya tentang waktu yang selalu memakan usianya. Tentang sang waktu yang bahkan mampu menembaki pistol-pistol di genggamannya. Namun katanya, sedang kupikirkan siang yang akan mengganti malam-malamku, bahkan tentang siang yang akan mengembalikan siang-siangku.

Lalu cobalah memutar jam di tanganmu sedikit saja ke lima hari yang lalu. Maka di hadapanmu tampaklah seorang pemuda yang sangat senang memanjakan bola matanya, yang begitu asyik bermain api dengan uang-uangnya. Padahal sebuah lembaran tentang “Hemat yang Menjunjung Bahagia” tergeletak manis menatap tatapannya. Padahal seonggok daging hangat yang baru saja dibelinya masih terseduh karena dititip ke tempat sampah.

Dan cobalah lagi membalikkan jam di dinding itu sedikit saja ke hari kemarin. Akan ada seseorang yang begitu bangga dengan otaknya hingga kepalanya malah lebih tinggi dari topinya. Seseorang yang tidak berpikir dari hati hingga tidak berhati-hatilah setiap pemikirannya. Padahal kardus-kardus di sampingnya itu selalu bercerita tentang “Munafiknya Kesombongan”. Padahal katanya dulu, bahwa dunia ini adalah keganasan yang akan menelan semua yang ada kecuali bagi mereka yang memiliki keikhlasan dan ketulusan setitik saja di genggaman hatinya.

Kemudian perhatikanlah jam di hand phone anda dalam-dalam, dan angkatlah kepala anda menjemput datangnya sumber bunyi ini, lalu tataplah seseorang yang di hadapanmu ini. Seseorang yang ingin mengatakan sesuatu kepada tuan esok, “Pengalaman ini semoga dapat kusuguhi dengan pengamalan itu”.

BY :FIRDAUS

Dengan sedikit kesendiriannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun