[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="-Ilustrasi, Penumpang berlalu lalang di peron kereta Commuter Line (KOMPAS.com)"][/caption] Hampir 2 pekan ini, timeline Twitter maupun update status teman-teman di BBM makin sering berisi hujatan buat PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Commuter Line yang kena gangguan sinyal-lah, pantograf rusak, gerbong berasap, penumpang pingsan, sampai AC mati, dan lain-lain. Gara-gara gangguan tersebut, urusan berantakan. Telat datang ke kantor, enggak bisa ikut ujian, dealing bisnis gagal, diputusin pacar, pulang kemalaman, dan sebagainya. Hal-hal itu memang sudah terjadi sejak dulu. Masalah klasik-lah. Dengan kata lain, enggak pernah ada solusi atau perbaikan signifikan. Saya sendiri pengguna CL selama lebih dari 10 tahun. Dari yang namanya masih Kereta Rel Listrik (KRL) sampai berubah jadi Commuter Line (CL). Dari KRL masih punya segmen ekspres dan ekonomi, sampai sekarang yang merata di semua lini. Dari yang harga tiketnya Rp 1.500, Rp 4.500, Rp 9.000, Rp 8.500, sampai sekarang pakai tarif progresif (sesuai jarak). Soal perubahan kebijakan, pasti menuai pro dan kontra. Cuma kok, yang saya rasakan secara pribadi, layanan transportasi ini makin tidak manusiawi. Bukan saja kondisi di dalam kereta yang bikin sesak napas, juga berbagai permasalahan teknis yang hanya bisa diselesaikan dengan permohonan maaf. Dan, sekarang, terjadi tiap hari. Efeknya besar sekali, terutama menyangkut psikologis penumpang. Makin banyak ditemui 'Dinda' lain yang egois, individualis, dan tak punya rasa empati pada mereka yang seharusnya diberikan fasilitas prioritas. Ya, karena tempat duduk di CL kini menjadi sesuatu yang 'mahal'. Saya, Dinda, dan KRL mania di luar sana haus dengan sebuah kenyamanan. Terlebih, pada moda transportasi massal. Ada kawan yang bilang, "Lo kalau mau nyaman ya naik mobil pribadi saja". Betul bahwa mobil pribadi memberikan kenyamanan privasi. Tapi, jangan lupa, jasa layanan transportasi umum menjadi kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya. Sebagai rakyat, saya berhak dong mendapat layanan tersebut? Kemudian, kawan lain nyeletuk, "Bayar tiket murah ya jangan harap nyaman-lah". Nah, mungkin prinsip ini juga yang dianut PT KCJ ketika menerapkan kebijakan tarif progresif. Yang penting masyarakat beralih menggunakan CL, sukur-sukur mengurangi kemacetan. Soal kenyamanan dan perawatan infrastruktur, urusan belakangan. Lalu, setelah 1 tahun lebih sistem itu diterapkan, apa saja hasilnya? Pertama, harga tiket memang jauh lebih murah. Kedua, tujuan PT KCJ berhasil karena banyak yang beralih menggunakan kereta. Ketiga, lebih efisien dengan penggunaan kartu multitrip. Namun, minusnya pun tak tanggung-tanggung. Pertama, kondisi gerbong jauh lebih sesak dan pengap. Kedua, jadwal CL yang makin telat. Ketiga, mekanisme transit yang merepotkan. Keempat, terbukti tidak mengurangi kemacetan. Kelima, gangguan teknis yang terjadi hampir tiap hari. Hmm, gangguan teknis ini macam-macam. Mulai AC mati, gerbong keluar asap, sinyal bermasalah, pantograf tersambar petir, pintu perlintasan yang macet, sampai rel terendam banjir. Kalau sudah begitu, praktis kereta jadi mogok, lama ditahan, gerbong super panas, dan lain-lain. Belum lagi kondisi di dalam yang memaksa berdiri dengan satu kaki. Wajar-lah emosi penumpang tak terkendali hingga melakukan demo, marah-marah pada petugas, dan memboikot stasiun. Untung saja tidak sampai terjadi aksi yang lebih ekstrim. Saya sendiri akhirnya memutuskan beli kendaraan pribadi walaupun kondisi jalan raya sama parah. Alasannya, karena layanan CL bukannya lebih baik, malah makin enggak karuan. Saya menyerah dan enggak mau 'terperangkap' sesak napas tiap hari. Padahal, ketika KRL ekonomi masih ada, saya sanggup untuk setia. Kenapa? Ya jelaslah, menurut saya, dalam kondisi penumpang super padat, KRL ekonomi lebih aman. Semua jendela dan pintu yang terbuka memungkinkan kita menghirup lebih banyak oksigen. Sedangkan di CL ber-AC dengan kondisi yang sama, malah bikin sesak napas sampai ada yang pingsan. Saya coba flashback sedikit. Ketika masih ada 2 tipe, ekspres dan ekonomi, naik KRL jauh lebih nyaman. Meskipun penuh, kondisinya tidak seperti sekarang. Keretanya juga jarang telat, jarang mogok. Ya, paling penumpang bandel aja yang naik di atap KRL ekonomi sama copet yang sampai sekarang pun masih eksis. Saya bahkan malas bepergian naik mobil atau motor. Selain itu, (masih saat ada 2 tipe KRL) relasi perjalanan lebih bervariasi. Bekasi - Tanah Abang dulu bisa langsung sekali jalan. Sekarang, mesti transit dulu ganti kereta di Stasiun Manggarai, menunggu yang dari Bogor. Otomatis, gerbong penuh berkali lipat. Belum lagi, perpindahan jalur yang kadang bikin senewen. Saya pernah mewawancarai doorstop Dirut PT. KAI Ignatius Jonan dalam kapasitas saya sebagai jurnalis saat itu. Saya tanya, kenapa ada perubahan sistem dan kebijakan seperti itu. Dia menjawab panjang lebar. Intinya, ingin membuat pelayanan menjadi lebih baik dan terjangkau. Penghapusan KRL ekonomi dilakukan karena berat di perawatan dan membahayakan keselamatan penumpang, juga mengganggu perjalanan kereta luar kota. Sistem yang sekarang menurutnya lebih baik dan sudah dijalankan di luar negeri. "Dimana-mana tidak ada 2 tipe KRL. Sistem yang sekarang (dengan tarif progresif) lebih fair," begitulah kata Jonan yang masih saya ingat. Dia juga bilang, tiap kebijakan pasti ada pro dan kontra, dan itu biasa. Lagipula, pihaknya tidak bisa membuat semua orang senang. Okelah kalau kita mau mengikuti keberhasilan Jepang atau negara-negara lain yang menerapkan sistem serupa. Cuma kayaknya pada kelupaan bahwa infrastruktur pendukung di Indonesia belum siap. Ya, terbukti kan dengan masalah-masalah yang sekarang munculnya tiap hari ini. Meski begitu, pihak KCJ tidak diam saja. Bulan lalu mereka mendatangkan rangkaian kereta dari Jepang guna memenuhi kebutuhan penambahan jadwal perjalanan. Sekali lagi, bukannya makin baik, layanan CL kian memprihatinkan. Ribuan kicauan di Twitter, Facebook, bahkan status BBM isinya lebih banyak keluhan ketimbang pujian. Saya termasuk satu orang yang beberapa kali menumpahkan kekesalan lewat media sosial. Bahkan, menyampaikannya langsung pada Menteri BUMN Dahlan Iskan lewat SMS. Jawaban dia normatif, "Terimakasih infonya. Nanti akan coba saya cek". Mungkin pengecekannya itu masih berlangsung hingga detik ini, sehingga belum ditemukan solusi yang tepat, atau memang dianggap angin lalu saja. Seandainya bisa memilih, saya lebih senang dengan sistem perjalanan KRL yang dulu. Artinya, masyarakat diberikan pilihan, mau naik ekonomi atau ekspres, sehingga kebutuhan mereka terakomodir lebih manusiawi. Atau, kalau mau dijalankan sistem yang sekarang, ya benahi dong infrastruktur. Gerbong ditambah, sinyal dan pantograf diperhatikan. Tiket murah bukan berarti 'dipaksa' sengsara kan? Saya rasa, bagi sebagian kalangan, membayar lebih mahal tak jadi soal. Asal, layanan maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H