Bertepatan dengan Hari Pers Nasional yang jatuh hari ini, saya mau ikut berbagi cerita dan pengalaman selama berkarier sembilan tahun lebih sebagai jurnalis. Tentu bukan ingin membuka aib perusahaan atau ada tendensi tertentu di balik itu. Sama sekali tidak. Hanya ingin pembaca tahu bahwa realita industri media kita ya begini adanya. Seperti yang belum lama ini terjadi.Â
Saya kembali kerja di sebuah perusahaan (yang katanya) bergerak di bidang media. Start up gitulah ceritanya. Dari nama web-nya sih lumayan, gaji yang ditawarkan juga di atas standar. Tapi, namanya juga start up, gak banyak benefit yang didapat selain BPJS Kesehatan dan reimburse berobat senilai gaji satu bulan. Okelah gak apa saya jajal dulu.
Hari pertama kerja jujur perasaan saya biasa aja. Tidak se-excited sebelum-sebelumnya. Entah karena memang jarak Bekasi - Kebayoran Lama yang kebangetan jauh atau karena hal lain. Masuk gedung disambut senyum Pak Satpam dan Manajer HRD. Perkenalan, lalu mulai dikasih tau rules perusahaan, dan sebagainya. Nah, mulailah muncul keanehan pertama.
"Nanti kalau liputan ditanya sama orang alamat kantornya dimana, jangan bilang di sini ya. Soalnya kita terdaftarnya yang di sana (lokasi di bilangan Jakarta Selatan). Takut ditagih pajak dobel," kata A, pria kemayu yang menyebut jabatannya 'multitasking man'.
Saya mengernyitkan dahi. Gak paham maksud dia gimana soal pajak, soal alamat, ah ya sudahlah. Saya gak ambil pusing. Setelah ketemu dia, saya lantas di-briefing oleh editor yang jadi atasan langsung. Keanehan kedua saya temukan dan benar-benar membuat geleng kepala.
"Kita kerjanya EFISIEN aja. Kalau bisa GAK PERLU LIPUTAN. Kan bisa ambil dari web-web resmi pemda dll," katanya.
Hmm. Ini gimana ya. Katanya perusahaan media. Punya produk media online dan targetnya puluhan website tahun ini di bidang lifestyle, otomotif, ekonomi, dan lain-lain. But, you said that? Gak perlu liputan? Maksudnya apa gimana coba? Supaya efisien? Sungguh gagal paham.Â
Yah, saya mendengar secara seksama aja dia berceloteh ini dan itu sambil Googling background dia ini beneran jurnalis apa bukan. Dari Linkedin-nya sih tercatat pernah bekerja di salah satu perusahaan media ternama. Oke deh.
Selesai di-brief, saya kembali ke meja yang telah disediakan. Dikasih tau lagi alur kerjanya. Muncul lagi kejanggalan. Jadi tuh ya, kita ngetik bikin tulisan gak langsung dimasukin ke CMS, tapi di PRINT dulu, kemudian diperiksa sama editor, habis itu, kertas print-annya dikasih ke (orang yang katanya) pemred, baru di upload sama dia atau editornya.Â
Macam mau skripsi gitulah. Dan, tulisan kita tuh bisa jadi ter-publish-nya baru besok atau lusa, gak real time karena editor cuma dua yang harus meriksa prinan tulisan super banyak. Well, mereka menyebut ini MEDIA ONLINE. Kalau menurut kamu gimana?
Kemudian, saya mendengar perbincangan teman-teman soal aturan baru perusahaan mengenai potong gaji kalau terlambat lebih dari 12 menit. Besaran potongannya antara 50 ribu sampai 80 ribu tergantung gaji masing-masing. Persentase-nya gak jelas juga. Mungkin maksud mereka biar disiplin. Tapi, kalau bicara tentang perusahaan media, aturan ini gak tepat.Â