Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Hidup Tak Semanis Gulali, Tersenyumlah..

20 September 2012   01:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:12 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu obrolan pertama kali setahun lalu. Nah, sekarang Tuhan pertemukan saya kembali dengan si kakek. Tidak ada yang berubah kecuali tubuhnya yang kian renta.

Saya sapa, 'Kek, baru keliatan lagi. Masih inget saya nggak?'. Dia hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. 'Iya nona tapi lupa-lupa'. Oh ya, ada yang sedikit beda dari dagangan kakek. Sekarang gulalinya sudah disiapkan per plastik. Jadi, kalau ada yang mau beli tinggal ambil.

'Ini se-plastiknya berapa?' tanya saya. Dia jawab, 'Rp 2000'. Hah?Rp 2000? Saya tahu harga gulali di pasaran memang tidak mahal. Tapi, dengan isi yang lumayan banyak begitu rasanya harga Rp 2000 terlalu murah.

Saya hitung, masih ada sekitar lima plastik yang dipajang. Sialnya, duit di kantong tinggal Rp 15 ribu. Hanya cukup buat ongkos pulang. Saya jadi nggak bisa beli semua. Cuma beli dua plastik. Duh, nyesel juga.

Saat mau bayar, kakek masih saja seperti dulu. Memberi saya setangkup gulali gratis untuk dicoba. 'Ini nona coba dulu nanti menyesal lagi kalau rasanya nggak enak'. Saya bilang, nggak perlu dicoba kan udah tau rasanya. Enak kok. Dia tetap memaksa, katanya, takut rasanya berubah.

Dan, nggak cuma saya aja yang dikasih gratisan. Semua calon pembeli diperlakukan sama. Asal tahu, gulali buatan kakek memakai gula pasir asli tanpa pewarna. Jadi, flat cuma warna putih gelap khas gula pasir aja.
Saya nggak asal ngomong atau sedang berpromosi. Teman-teman juga keluarga saya mengakui itu. Beda banget deh sama yang dijual di tempat lain, yang pakai warna pink.

Untuk menyenangkan hati kakek, saya cicipi gulali itu. Dia tampak senang sekali gulalinya saya makan. 'Masih enak kok, masih sama. Manisnya pas,' kata saya jujur. Kakek tersenyum sumringah dan malah memberi saya setangkup lagi, gratis. 'Ini ambil lagi buat dijalan'.

Seketika saya ingin menangis. Gulali yang ia jual harganya cuma Rp 2000 per plastik. Kalau laku semua, kira-kira cuma dapat Rp 30 ribuan. Tapi, dia masih bisa memberi gratis pada semua calon pembeli.  Hidup yang terlihat miris dari luar, ternyata dirasakan begitu manis. Sama seperti rasa gulali yang ia jual. Ya Tuhan.. sungguh saya terenyuh. 'Berkah ya, Kek, rejekinya. Amin..', doa saya dalam hati.

Saya lantas melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Masih dengan perasaan yang 'tertampar'. Saya seperti berdialog dengan diri sendiri. Malu tepatnya.

Kalau dibandingkan, gaji saya jauh lebih besar dari penghasilan kakek. Saya juga masih muda dan sehat. Cuma kok kebanyakan ngeluhnya. Hidup yang nggak sempurna-lah, kerjaan yang banyak banget-lah, yah macem-macem deh. Minim banget rasa syukur.

Tuhan seperti mau mengajari saya bagaimana caranya bersyukur. Sederhana. Cukup dengan senyum, wajah yang ceria, dan hati yang ikhlas memberi, tanpa embel-embel kepentingan atau rasa takut kehilangan rejeki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun