Mohon tunggu...
Firda Ayustin Mansur
Firda Ayustin Mansur Mohon Tunggu... -

Write down and speak up.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keegoisanku di Akhir Hayatnya

28 Juni 2015   04:12 Diperbarui: 28 Juni 2015   04:12 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan siang ini membuat hawa terasa dingin. Sangaaatt dingin. Walaupun setiap hujan dan malam hari dingin, tapi hari ini berbeda. Hawa dingin yang sangat mencekam, masuk ke dalam tubuhku, menusuk tulangku dan meremukkan jantungku. Seperti itulah yang aku rasakan saat ini.

Hampir aku lupa. Perkenalkan, namaku Nina, kelas VIII SMP. Aku punya seorang adik. Namanya Tomy, dia masih kelas II SD. Cukup lama ya jaraknya, 6 tahun. O iya, tentunya kami punya orangtua dong, ayahku bekerja di Surabaya, sebagai TNI-AL. Beliau hanya pulang sekali dalam seminggu. Biasanya Jum’at malam sudah sampai rumah. Sedangkan ibuku adalah seorang guru. Sesuai dengan profesinya, beliau sangatlah sabar. Mungkin karena kesabaran beliaulah sehingga membuatku suka merajuk jika keinginanku tidak terpenuhi. Apalagi saat itu....

Ah, sudahlah, sudah cukup perkenalannya. Nanti membuatku teringat akan hari itu. Ok, kembali ke dinginnya hari ini. Padahal aku sudah memakai jaket, selimut tebal juga sudah, tetap saja sangat dingin. Brrrrr.... Untungnya ada ibu, beliau menggorengkan pisang untuk kami. Hmm... yummy. Lumayan hangatlah di badan, dan tangan khususnya. O iya, ayahku pulang nanti malam. Jadi kami masih bertiga di rumah.

Duarrrr.... aku kaget. Petir menyambar dengan keras. Tidak sengaja pandanganku tertuju pada foto yang tertempel di dinding. Foto yang paling utara, foto kakek dan nenekku. Kakek sudah meninggal ketika ayah dan ibu belum menikah. Sedangkan nenek, beliau menemaniku sampai kelas 5 SD. Ingatan yang coba aku pendam, terpaksa meletus juga. Teringat hari itu, hari dimana aku melakukan kesalahan besar... terhadap nenekku. Sebelum beliau meninggal. Hmm... aku merasa bersalah atas kelakuanku yang kekanak-kanakan, yang suka merajuk, dan suka marah-marah. Karena, sifat-sifat itu membuatku menyesal. Sangaattt menyesal.

Tanpa di sengaja, hari ini hari jum’at. Tanggal 12 Januari 2010. Sama seperti hari itu. Aku masih ingat betul, nenekku meninggal hari Jum’at Wage, tanggal 12 Januari 2007. Dua hari sebelum ulang tahunku. Waktu itu aku masih kelas 5 SD. Dan adikku masih duduk di TK B. Aku, Gadis kecil yang sangat suka merajuk jika keinginannya tidak dipenuhi. Terkadang, aku malah sampai marah-marah tidak jelas, membanting barang-barang lunak di sekitarku. Ibu sering hampir memarahiku. Tapi, selama ada nenek, beliau menenangkan dan membelaku. Padahal aku tidak begitu suka pada beliau, karena beliau sangat cerewet. Yang aku suka ketika beliau memijatku dan menceritakan dongeng sebelum tidur. Tetapi, saat nenek jatuh sakit sekitar tahun 2006, semuanya berubah. Beliau menderita stroke, penyakit yang banyak beredar di kalangan lansia. Rumah terasa sepi sekali tanpa canda tawa beliau. Aku merindukan canda tawanya, aku merindukan cerewetnya. Saat ini, beliau hanya bisa berbaring dan kadang kala duduk. Aku pun sadar, betapa aku sangaaattt menyayangi nenek. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detik kugunakan hanya untuk menemani nenek. Aku tidak mau kehilangan beliau. Tidak.

Enam bulan telah berlalu. Keadannya telah membaik, aku sangat senang. Nenek sudah bisa berjalan. Sudah bisa bermain dengan aku dan adik lagi. Dan beliau tidak cerewet lagi. Tapi ada satu yang tetap, yaitu sifatku yang suka merajuk. Tapi tidak sesering dan separah yang dulu. Mungkin penyebabnya hanya karena adik menggodaku, merebut apa yang aku miliki, dan menjadi penguasa di rumah. Berselang beberapa menit kemudian acara merajukku juga sudah selesai. Capek merajuk terus, karena tidak ada yang menanggapi dengan serius. Bagaimanapun, aku senang dengan keadaan yang membaik ini. Begitu juga orangtuaku.

Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama. Tiga bulan. Hanya tiga bulan aku merasakan keadaan yang menyenangkan itu. Aku dan ayah libur, sedangkan ibu dan adik tetap masuk. Setelah mengantarkan adik ke sekolahnya, aku bergegas pulang. Di rumah, nenek dan ayah sudah selesai makan, aku yang kelaparan pun segera menyusul. “Nin, mangan seng akeh yo Nduk, di waregi!” kata Nenek. Beliau pamit mau tidur pada ayah. “Aku mumet Le, aku tak turu sek.” Kata nenek pada ayah. Ayah tidak mencurigai apapun. Karena hal itu sudah biasa. Ayah hanya menjawab “Nggeh Bu, njenengan sare.” . aku pun juga menganggap itu hal biasa. Tetapi, inilah awal mula kejadian yang membuatku sangat menyessal. Setelah nenek tidur, aku dan ayah melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Sampai kami selesai, sampai adik pulang, sampai ibu pulang, bahkan sampai sore, nenek tidak bangun juga. Hal itu membuat kami merasa aneh. Akhirnya kami sekeluarga membangunkan beliau. Berbagai cara telah kami lakukan, mulai dari membangunkan nenek dengan halus, membuat keributan, menggoyang-goyang tubuh nenek, sampai-sampai aku memencet-mencet tuts keyboard dengan volume paling keras. Tapi tidak ada yang berubah, beliau tetap tidak bangun. Kami semua panik. Akhirnya ayah memanggil ambulance rumah sakit terdekat. Malamnya, nenek sudsh bisa bangun. Huft... akhirnya kami bisa bernafas lega.

Sejak saat itu, penyakit nenek kambuh lagi, bahkan lebih parah dari yang dulu. Sekarang nenek bukan hanya terbaring lemas, tapi beliau juga sudah tidak bisa bicara. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sekarang, pikiranku benar-benar kacau. Aku sangat sedih. Namun, berselang satu bulan, nenek sudah bisa duduk, walaupun tetap tidak bisa bicara. “Perkembangan yang cukup baik di akhir tahun 2006 ini,” pikirku. Keadaan yang membaik itu membuatku berani mengajukan permintaan pada ibu. “Buk, ulang tahunku kan tanggal 14 Januari. Lha kuwi kan dinane minggu. Sabtune ngenekne tiba’an ya??” pintaku. “Lha mbahmu sek loro kuwi lho nduk..” “Tapi mbahe kan pun saget lenggah, terus tiba’an kan ngaji-ngaji. Lek menowo mbah mari lek sakit.” “Yo wis. Tak omongne Mbak Lut engko, tanggal 13 ngundang tiba’an.” “Yeee....” teriakku dalam hati. Akhirnya aku bisa mengundang tiba’an. Bagi yang belum tahu, tiba’an itu semacam rutinan, atau samroh. Tapi di daerahku hanya menggunakan rebana.

Tetapi, kesediihan kembali menyelimuti rumahku dan seisinya. Lima hari sebelum tanggal 13 Januari 2007 penyakit nenek kembali parah. Aku menjadi ekstra ketat dalam merawat dan menemani beliau. Yang aku pikirkan hanya semoga nenek cepat sembuh, agar tiba’an ku tetap berlangsung. Akan tetapi, ibu telah merancanakan hal lain. Beliau sudah berpikir ke depan, bahwa penyakit nenek sulit sekali untuk sembuh. Kalaupun bisa, pastilah lama. Itulah yang ada di pikiran ibuku. Tanggal 10 januari 2007 malam hari, ibu dan ayah membicarakan hal itu denganku. Aku kaget karena ibu dan ayah memilih untuk menunda tiba’anku. “tiba’ane di undur ae yo nduk.. mbahmu sek loro koyok ngene.. ngaji-ngaji ne apik. Lha tapi tabuhane kuwi lho seng ngganggu mbahmu. Lek karo di ngge ulang tahunmu, di qoshor kan yo kenek.”. aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bagaimana. Di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku kecewa, aku tidak terima hal itu, pokoknya aku ingin tiba’an itu tetap berlangsung, bagaimanapun situasi dan kondisinya.

Esoknya, semua keluargaku sudah berkumpul unruk menjenguk nenek karena nenek makin parah. Bahkan, sorenya ibu, ayah, kakak keponakan, dan bude-bude sudah membacakan yasin. Aku bingung. Tapi hatiku tetap ungin tiba’an berlangsung. Ketika aku masuk kakak keponakanku menyuruhku membaca yasin. Dengan lantang aku menjawab, “GAH! Ngge opo moco yasin! Aku ra iso moco yasin!” aku langsung masuk kamar dan membanting pintu. Semua orang di ruang tamu pasti kaget mendengarku. Ibu menghampiriku dan menjelaskan semuanya padaku. Di situlah aku bisa tenang. Hatiku akhirnya luluh juga. Aku keluar kamar dan mengambil air wudhu, setelah itu aku membaca yasin. Aku membaca ysin dengan suara bergetar, air mataku sudah hampir jatuh. Setelah selesai, aku memegang tangan nenek dan menciumnya. Perlahan, tangannya mulai dingin. Ayah memegang kaki nenek, beliau juga mengatakan bahwa kakinya dingin. Raut muka ayahku seperti sudah pasrah. Semua orang berkumpul di dekat ranjang nenek. Ibu membisikkan kata-kata terakhir di telinga nenek. Dan, tepat adzan magrib berkumandang, nenek memejamkan mata untuk selamanya. Aku tak kuasa membendung air mataku. Semuanya jatuh. Aku berlari keluar, tetangga berdatangan. Aku berlari menuju tempat yang tidak diketahui siapapun, mobil pakde. Aku menangis, terus menangis, menyesali semua perbuatanku saatini. Bahkan sebelum nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itulah, aku menjadi lebih dewasa, tidak kekanak-kanakan lagi. Hmmm... pisang goreng ini terasa basah karena bercampur dengan air mataku yang mengalir lagi.

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun