KONSEP GIZI KERJA DAN PENGARUH GIZI Â KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA
Gizi kerja adalah nutrisi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan serta mengupayakan daya kerja tenaga kerja yang optimal (Pola PK dkk, 2021).
Kesehatan dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, salah satunya adalah pemenuhan gizi kerja yang sesuai dengan status gizi setiap pekerja dan beban kerjanya untuk mencapai dan meningkatkan efisiensi serta produktivitas kerja. Tenaga kerja sebagai salah satu aset penting yang dibutuhkan perusahaan dalam menjalankan aktivitas produksinya. Produktivitas kerja juga merupakan standar atau ukuran yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Ramadhanti AA, 2020).
Keberadaan gizi kerja penting karena status gizi akan merepresentasikan kualitas fisik serta imunitas pekerja, sebagai komponen zat pembangun dan masukan energi ketika tubuh merasa lelah akibat bekerja, serta dapat meningkatkan motivasi atau semangat dalam bekerja yang akan menentukan produktivitas kerja. Adapun masalah gizi tenaga kerja terutama di Indonesia cukup kompleks, diantaranya pola makan yang kurang baik (seperti melewatkan sarapan), belum tersedianya ruang makan khusus bagi tenaga kerja, pemberian insentif makan dalam bentuk uang dan belum jelasnya pembagian antara waktu istirahat dengan waktu kerja. Beragamnya masalah gizi tenaga kerja adalah tantangan yang harus dihadapi dan dikendalikan seoptimal mungkin. Berbagai faktor yang mempengaruhi keadaan gizi tenaga kerja seperti jenis kegiatan (beban kerja), faktor internal tenaga kerja (jenis kelamin, usia, keadaan fisiologis, tingkat kesehatan dan kebiasaan makan) serta lingkungan kerja (meliputi: fisik, kimia, biologi, fisiologi, psikologi dan ergonomi) (Ramadhanti AA, 2020).
Gizi kerja merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, khususnya bagi para pekerja. Gizi kerja diperlukan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Status gizi terbagi atas 2 kategori, dikatakan status gizi normal dan tidak normal. Status gizi yang tidak normal merupakan status gizi yang kurang atau lebih dalam tubuh seseorang. Status gizi yang tidak normal dapat mengganggu kapasitas dan ketahanan tubuh. Akibatnya tubuh mudah lelah, konsentrasi kurang dan rentan terkena penyakit infeksi. Salah satu upaya yang mempunyai dampak yang cukup penting dalam meningkatkan sumber daya manusia yaitu peningkatan status gizi (Sumigar JT dkk, 2020). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang akibat dari konsumsi, penyerapan dan utilisasi zat gizi makanan. Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi (Partuti T dan Ratna E, 2019). Status gizi seseorang erat kaitannya dengan performa tubuh secara eseluruhan. Seseoang yang berada dalam kondisi gizi kurang baik dalam artian intake makanan dalam tubuh kurang dari normal maka akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaan (Partuti T dan Ratna E, 2019).
REFERENSI
Ramadhanti AA. 2020. Status Gizi Kelelahan terhadap Produktivitas Kerja. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 11(1): 213-218.
Pola PK, Paul ATK, Oksfriani JS. 2021. Hubungan Antara Status Gizi dan Lama Kerja dengan Beban Kerja Fisik pada Industi Rumah Tangga Pembuatan Keramik Pulutan Kabupaten Minahasa. Jurnal KESMAS. 10(2): 87-92.
Sumigar JT, Paul ATK, Grace ECK. 2020. Hubungan Antara Motivasi Kerja dan Status Gizi dengan Produktivitas Kerja pada Pekerja Bagian Open Area di PT. Tropica Coocoprima Desa Lelema Kabupatn Minahasa Selatan. Jurnal Kesmas. 9(4): 195-201.
Partuti T, Ratna E. 2019. Hubungan Antara Status Gizi dengan Produktivitas Tenaga KErja Wanita IKM Gipang Wilayah Cilegon. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender. 15(2): 126-131.
Diana E, Aman E, Ismail. 2017. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja Pada Karyawan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Indramayu. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2(3): 84-88