Secara umum tujuan pernikahan selain untuk menghindari perbuatan dosa adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dengan mendapatkan keturunan. Dalam sebuah keluarga, anak akan menjadi generasi penerus keluarga dan membuat sebuah pernikahan menjadi sempurna. Menurut Friedman (1998), terdapat lima fungsi keluarga yang salah satunya adalah fungsi reproduksi (The Reproduction Function), dimana keluarga memiliki fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.Â
Namun, realitanya banyak pasangan suami istri yang sulit untuk mendapatkan keturunan dan terkadang hal tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan hubungan. Mereka akan saling menyalahkan dan tidak menutup kemungkinan mereka akan mengambil jalan perpisahan, jika tidak mendapatkan penyelesaian. Pada kondisi ini kehadiran seorang anak menjadi kunci untuk keharmonisan dan keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, pasangan suami istri akan berusaha menempuh berbagai cara untuk dapat memperoleh keturunan.
Salah satu penyebab dari kesulitan untuk memiliki keturunan adalah gangguan kesuburan. Menurut World Health Organization (2012), infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil, mempertahankan kehamilan, atau membawa kehamilan kepada kelahiran hidup. Gangguan kesuburan ini dapat disebabkan oleh suami ataupun istri. Problem kemandulan pada istri dapat terjadi karena masalah pada saluran tuba fallopi yang menyebabkan pembuahan in vivo menjadi sulit. Sementara problem kemandulan pada suami dapat terjadi karena adanya kecacatan kualitas sperma, jumlah sperma yang sedikit atau kesulitan untuk menembus sel telur.
Perkembangan teknologi di bidang kesehatan menemukan cara untuk mengatasi infertilitas dengan menggunakan teknologi canggih reproduksi berbantu yang salah satunya dikenal dengan istilah "bayi tabung (in-vitro fertilization)". Bayi tabung merupakan proses pembuahan sel telur oleh sel sperma yang dilakukan di luar tubuh perempuan menggunakan sebuah tabung pembuahan, kemudian setelah dibuahi dan siap maka akan dipindahkan ke rahim. Â Patrick Steptoe dan Paul Edwards pada tahun 1978 mengumumkan lahirnya bayi pertama hasil bayi tabung yang bernama Louise Brown.Â
Seiring dengan terus berkembangnya teknologi, tingkat keberhasilan program bayi tabung semakin besar walaupun tidak bisa dipungkiri program bayi tabung membutuhkan biaya yang cukup besar. Program Bayi Tabung di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1987 di Rumah Sakit Anak & Bunda, Jakarta. Bayi pertama lahir pada tahun 1988 diberi nama Nugroho Karyanto. Pada masa itu program bayi tabung masih dianggap hal yang tabu di Indonesia dan timbul perspektif yang berbeda ditinjau dari aspek etis dan yuridis.Â
Ditinjau dari aspek etis, program bayi tabung menimbulkan berbagai permasalahan seperti seleksi embrio, permintaan oleh orang tua yang menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu (sex selection), menyelamatkan saudara (savior siblings), merencanakan bayi dengan gender, tinggi, kecantikan, kecerdasan sesuai keinginan orang tua (designer babies). Disamping itu dilihat dari aspek hukum bayi tabung juga menimbulkan kontroversi yaitu sperma donor (donor sperm) dan ibu pengganti (surrogate mother).Â
Untuk menghindari perbedaan perspektif, Pemerintah Indonesia membuat produk hukum mengenai "Bayi Tabung" yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Saat ini untuk pelaksanaan program bayi tabung di Indonesia, diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Tekhnologi Reproduksi Buatan. Dari peraturan tersebut dijelaskan bahwa di Indonesia program bayi tabung dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dan tidak diperbolehkannya penggunaan sperma donor maupun rahim sewaan serta pelaksanaanya pun harus dilakukan oleh tenaga ahli pada fasilitas pelayanan kesehatan yang berwenang.
Kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung ditinjau dari perspektif hukum di Indonesia yaitu UU Nomor 1 tentang Perkawinan dan Pasal 280 KUHPerdata dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah, sehingga memiliki hak waris dan hubungan keperdataan lainnya. Smentara itu berdasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, segala bentuk perjanjian ibu pengganti dan donor sperma pada program bayi tabung di Indonesia  batal demi hukum  sebab bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam.
Sejatinya teknologi hadir dengan tujuan 'rehumanize', memanusiakan manusia dan menciptakan kualitas hidup terbaik bagi manusia dengan meminimalisir penderitaan dan meningkatkan harapan hidup baik melalui cara promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Dengan demikian teknologi yang ada tidak boleh mengalahkan etika, moral dan agama karena teknologi tanpa didasari oleh etika, moral dan agama tidak akan mendatangkan manfaat tetapi akan mendatangkan petaka.Â
Demikian juga dalam pelaksanaan program bayi tabung, tidak ada larangan untuk melakukannya tetapi tidak boleh melanggar etika, moral dan agama. Â Di sini peran hukum hadir sebagai pembatas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga terdapat kepastian yang jelas. Begitu juga mengenai teknologi bayi tabung di Indonesia agar tidak menimbulkan perspektif yang berbeda maka harus dibuat produk hukum yang mengaturnya dengan jelas.
Sumber: