Di masa penjajahan dulu, Tan Malaka nggak cuma mikirin strategi perang. Dia juga lihat sepak bola sebagai alat perjuangan.
Serius, di lapangan bola, semua orang itu setara. Nggak ada kelas sosial. Semua pemain berjuang buat satu tujuan: menang.
Menurut Tan, konsep ini mirip banget dengan visinya tentang persatuan dan kesetaraan. Ketika masyarakat ngumpul buat nonton bola, ada semangat kebersamaan yang terpupuk.
Sorak-sorai dari tribun itu ibarat benih perlawanan. Tan juga bilang, sepak bola bisa melatih disiplin dan strategi.
Di lapangan, pemain harus kerja sama, ikut rencana, dan fokus meski ditekan lawan. Kemampuan ini kalau diterapkan di medan perjuangan bisa jadi kekuatan dahsyat.
Selain itu, di tengah keseriusan perjuangan, sepak bola bisa jadi hiburan yang menyegarkan. Jadi, nggak salah kan kalau bola jadi semacam 'pelarian' yang produktif?
Tapi jangan salah, pandangan Tan Malaka ini bukan sekadar romantisme. Dia melihat sepak bola dengan kritis, sebagai alat pemberdayaan rakyat.
Di era sekarang, kita tahu lah sepak bola sering jadi komoditas alat politik. Tapi pandangan Tan bisa jadi pengingat bahwa olahraga ini punya potensi lebih dari sekadar tontonan.
Bisa jadi alat edukasi, kebersamaan, dan bahkan perjuangan sosial. Tan Malaka ngajarin kita buat nggak meremehkan potensi-potensi kecil di sekitar kita.
Sepak bola, yang mungkin bagi sebagian orang cuma permainan, bisa jadi alat perubahan besar kalau dipakai dengan strategi yang tepat.
Tan Malaka telah meninggalkan warisan pemikiran yang keren. Pandangannya tentang sepak bola sebagai alat perjuangan adalah salah satu yang paling menarik.