Menko PMK Muhadjir Effendy mengeluarkan wacana kebijakan mengejutkan. Wacana itu ingin menerapkan sertifikasi perkawinan.
Melalui program ini, para calon mempelai nantinya diwajibkan untuk mengikuti kelas atau bimbingan pranikah untuk memperoleh sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan dijadikan sebagai syarat perkawinan.
Melalui kelas bimbingan sertifikasi, calon suami-istri akan dibekali pengetahuan tentang kesehatan alat reproduksi, penyakit-penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri, hingga soal stunting.
Muhadjir mengatakan, program sertifikasi perkawinan ini baru akan dimulai tahun 2020 dengan lama kelas bimbingan 3 bulan.
Pertanyaannya, perlukah sertifikasi perkawinan ini? Lalu apa dampak yang muncul setelah kebijakan tersebut berlaku?
Sebenarnya program ini cukup bagus, dimana sertifikasi ini dimaksudkan untuk menambah dan membekali pengetahuan calon mempelai sebelum menikah. Namun, jangka waktu 3 bulan saya pikir cukup lama dan beresiko. Kenapa?Â
3 bulan tertunda pernikahan sebelum mendapat sertifikat perkawinan. Berarti 3 bulan pula calon mempelai dapat terindikasi kegiatan yang melanggar syariat islam. Islam menyarankan untuk menyegerakan pernikahan setelah proses lamaran. Lantas apakah program ini berarti mendukung aktivitas yang sering kita sebut "pacaran" ?
Terlepas dari hal itu, tentu akan ada pro dan kontra. Jika pemerintah memang sudah mantap menetapkan peraturan seperti diatas, Â saran saya sebaiknya waktu pelaksanaan nya jangan terlalu lama. Mungkin bisa dinpersingkat dan diefektifkan. Saya kira 1 bulan sudah cukup. Melihat bahwa mayoritas masyarakat indonesia beragama islam, tentu kami berharap pemerintah dapat membuat keputusan dan peraturan yang tidak melanggar batas- batas dan syariat (Islam).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H