Perubahan kepemimpinan dari era Soekarno menjadi era Soeharto mengakibatkan perubahan dalam politik luar negeri yang diterapkan Indonesia pada masa itu. Kepemimpinan Soeharto yang dikenal dengan masa Orde Baru merupakan kepemimpinan dengan masa yang paling panjang di Indonesia yaitu selama 32 tahun. Hal ini kemudian yang menjadi menarik untuk dibahas, yaitu mengenai bagaimana dinamika serta warisan dari kepemimpinan Soeharto, khususnya dalam menjalankan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Baru.
Pada masa awal kepemimpinan Soeharto, rezim ini dihadapkan dengan permasalahan yang kompleks, salah satunya yaitu merosotnya perekonomian Indonesia sepeninggalan kepemimpinan Soekarno. Oleh karena itu, awal kepemimpinan Soeharto menegaskan dua tujuan penting yaitu stabilias politik dan keamanan dalam dan luar negeri serta membangun kembali ekonomi yang berada dalam kondisi yang krisis. Dari tujuan awal kepemimpinannya ini, artinya Presiden Soeharto ingin memfokuskan pembangunan ekonomi dan mempertahankan eksistensi Indonesia dalam forum internasional.
Kebijakan luar negeri yang diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto secara prinsip tidak berubah sejak pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, yaitu bebas-aktif, berprinsip anti-imperialisme, dan berusaha menjadi pemeran penting di kawasan Asia Tenggara. Namun, pada pelaksanaannya memang berbeda dengan masa kepemimpinan sebelumnya. Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto berusaha melalukan pemurnian terhadap pelaksanaan politik bebas-aktif Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mempertegas lagi arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif harus sesuai dengan kepentingan nasional, terutama kepentingan pembangunan di segala bidang. Dengan itu, politik luar negeri pada masa Orde Baru lebih bersifat low profile dibandingkan dengan masa Orde Lama yang bersifat high profile atau lebih agresif serta revolusioner.
Sifat politik luar negeri Presiden Soeharto yang low profile ini dapat terlihat dari bagaimana Presiden Soeharto mengambil kebijakan luar negeri dengan lebih hati-hati serta mengedepankan ambisi kawasan dan berusaha untuk menghilangkan citra buruk Indonesia di dunia Internasional. Penegasan stabilitas politik dan keamanan menjadi salah satu fokus utama dalam politik Indonesia di masa Orde Baru, dimana diasumsikan bahwa dengan adanya stabilitas politik dan keamanan dalam dan luar negeri, maka pembangunan ekonomi nasional juga akan stabil. Oleh karena itu, upaya-upaya normalisasi hubungan luar negeri dilakukan pada masa kepemimpinan Soeharto untuk mewujudkan stabilitas politik dan keamanan Indonesia.
Pada masa kepemimpinan Soeharto, upaya normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia segera dilakukan untuk menyelesaikan masalah konfrontasi antara kedua negara tersebut. Posisi Soeharto sebagai pemegang kekuasaan eksekutif setelah peristiwa Supersemar mulai mendukung untuk melakukan pembicaraan damai secara terbuka. Upaya tersebut dilakukan karena Presiden Soeharto mulai menentukan arah kebijakan luar ngeri untuk berhubungan baik dengan negara-negara tetangga sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Selain itu, upaya normalisasi hubungan dengan Malaysia juga berhubungan dengan keinginan Soeharto untuk menjalin hubungan baik dengan negara Barat agar mendapatkan bantuan investasi untuk mendorong pembangunan ekonomi Indonesia. Lebih jauh diperlihatkan pada kepemimpinan Soeharto dalam menjalankan politik luar negeri juga mendorong Indonesia kembali bergabung menjadi anggota PBB pada tahun 1966.
Upaya yang ditempuh Indonesia di bawah Soeharto untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan kembali menjadi anggota PBB kemudian mendapat tanggapan yang positif dari negara-negara Barat dan juga Jepang. Sebagai bukti yaitu terselenggaranya Pertemuan Tokyo Meeting dan Paris Meeting untuk membahas mengenai bagaimana mengatasi ekonomi Indonesia yang mengalami kehancuran dan krisis.
Pada masa Soeharto juga dilaksanakan kebijakan untuk menjalankan "diplomasi pembangunan" dan "diplomasi bantuan" untuk membangun stabilitas ekonomi. Kebijakan ini menempuh tiga cara yaitu dengan penjadwalan kembali utang luar negeri, mencari bantuan bagi pembangunan, dan membuka ruang investasi dengan penanaman modal. Warisan dari politik luar negeri Soeharto untuk membangun stabilitas ekonomi ini kemudian masih dirasakan hingga saat ini. Selain itu, warisan yang sampai sekarang masih dirasakan dan berpengaruh dari politik luar negeri di era Soeharto adalah terbentuknya ASEAN yang merupakan organisasi regional dan salah satunya diprakarsai oleh Indonesia. ASEAN hingga sekarang menjadi bukti eksistensi Indonesia di Internasional bahkan dianggap sebagai tonggak utama politik luar negeri Indonesia.
Agenda politik luar negeri Indonesia pada era Soeharto juga menunjukkan sifat high profile dalam melakukan hubungan multilateral. Hal ini juga menjadi upaya mempertahankan eksistensi Indonesia di Internasional. Sifat politik luar negeri yang high profile dapat dilihat dalam forum seperti PBB, Gerakan Non Blok (GNB), APEC, dan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dinamika dan warisan dari politik luar negeri era Soeharto baik dalam low profile dan high profile kemudian memiliki implikasi yang besar terhadap politik luar negeri Indonesia saat ini.
Sumber: Haryanto, A., & Pasha, I. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H