Mohon tunggu...
Fira Deyanti
Fira Deyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Book

Menolak Patriarki dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane

5 Mei 2023   15:57 Diperbarui: 5 Mei 2023   16:25 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belenggu Karya Armijn Pane, cetakan ketujuh belas 1995. Dokpri

Laki-laki memiliki peranan penting sebagai kontrol utama dalam berkeluarga maupun bermasyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atas kontrol yang diinginkannya, bahkan bisa dikatakan juga jika perempuan tidak memiliki hak akan itu. Istilah ini, sering juga kita sebut sebagai budaya patriarki, yang mana peranan laki-laki disini adalah sebagai pemegang kekuasaan utama.

Tokoh  Sumartini dalam novel Belenggu karya Armijn Pane ini sangat menentang akan budaya patriarki, menurutnya perempuan juga memiliki hak untuk bebas dan mengeksplor diri, perempuan bebas memiliki kesenangannya sendiri, perempuan tidak hanya  harus diam di rumah dan menunggu suami pulang. Tidak! Namun sangat disayangkan, hubungannya  dengan Sukartono-suaminya semakin berjarak lantaran Sukartono yang tidak menyuikai perilaku Tini tersebut.

Sukartono yang berprofesi  sebagai seorang Dokter, membuatnya  sangat jarang di rumah. Bahkan, hampir seluruh waktunya ia persembahkan untuk para pasiennya itu. Sumartini tidak suka, Tini bosan, dan Tini merasa hidupnya tiada manfaat jika hanya ia pergunakan untuk berdiam diri di rumah seraya menunggu Tono pulang. Hingga dengan keputusannya, Tini sering kali keluar rumah tanpa sepengetahuan Tono.

Semakin lama hubungan keduanya tiada membaik, tapi justru sebaliknya, keduanya semakin berjarak. Tidak ada lagi komunikasi antara keduanya. Tini melakukan aktivitasnya sesuka hati, begitu juga dengan Sukartono yang pulang dan pergi tanpa peduli apakah istrinya berada di rumah atau tidak.

Bersamaan dengan berjaraknya hubungan Tono dan Tini, Tono menemukan cinta masa kecilnya, yang pada saat itu menyamar sebagai seorang pasien. Siti Rohayah yang biasa dipanggil Yah, merupakan perempuan sesungguhnya  di mata Tono. Perempuan yang penurut, tidak banyak drama, dan pandai memperlakukan laki-laki dengan baik. Hingga pada akhirnya, Tono kembali menjatuhkan hatinya pada Rohayah.

Tini tidak tahu, bahwa nyatanya Tono memiliki perempuan lain selain dirinya. Lagi pula, Tini tidak peduli, lantaran hatinya yang sudah mati dan tidak bisa lagi memercayai terlebih memberi kasih pada Tono. Hingga pada suatu waktu, ia menerima surat dari adiknya yang berisi, "Benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta jika kesenangannya saja yang kita ingat? Kalau kita tiada ingat akan diri kita? Kalau kesukaan kita Cuma memelihara dia?"

Saat itu, perasaan Sukartini tidak bisa dijelaskan. Ia sadar, bahwa perilakunya yang menentang, tidak pandai melayani suami dengan baik, menyukai kebebasan, memiliki banyak  aktiviitas di luar, itu semua adalah perilaku yang tidak bisa dianggap benar pada masa itu.  Karena pada masa itu, status laki-laki  sebagai pemilik kontrol terbesar masih sangat kental dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Kasak-kusuk  mengenai perselingkuhan Tono dan Rohayah sampai di telinga Tini, karena Tini merasa penasaran akhirnya Ia menemui Rohayah. Tanpa diduga, Tini justru mengamanahkan Tono pada Rohayah. Ya, Tini ingin berpisah dengan Tono lantaran ia yang sudah tidak merasa cocok lagi dengan suaminya itu.

Tini benar-benar pergi meninggalkan Tono, dan Ia memilih untuk menjadi pemimpin rumah piatu di Surabaya. Ia memilih untuk bebas, dan melepas belenggu yang selama ini mengikatnya. Ketika belenggu zaman dahulu  terlepas sama sekali, matapun dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang- Armijn Pane.

Dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, dengan tokoh Tini sebagai perempuan yang independent, disana sangat memperlihatkan betapa susahnya perempuan pada masa itu berjuang untuk mencapai kemajuan zaman. Terlebih pada masa itu, budaya patriarki masih sangat kental dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga gerakan perempuan terbatas. Namun lihatlah masa sekarang! perjuangan mereka nyatanya tidak sia-sia. Keberadaan perempuan mulai diakui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun